PERMASALAHAN minyak goreng yang tak kunjung selesai, menimbulkan persepsi bahwa pemerintah dalam hal ini Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi kalah dengan pengusaha minyak kelapa sawit. Apalagi, sudah berbagai kebijakan silih berganti diterapkan.
Menanggapi tudingan tersebut, Lutfi menegaskan bahwa pemerintah tak menyerah untuk menyelesaikan permasalahan komoditas pangan saat ini, khususnya terkait minyak goreng.
Ia membantah berbagai kebijakan yang belum mampu menyelesaikan permasalahan minyak goreng dianggap sebagai bukti kalahnya pemerintah menghadapi pengusaha-pengusaha minyak goreng.
Baca Juga:Geser Pesaing, TikTok Uji Coba Fitur Story Mirip Instagram dan SnapchatFP1 Moto3 Mandalika: Mario Aji Honda Team Asia Terpaut 3.173 Detik dari yang Tercepat
“Tidak ada yang kita kalah dengan pengusaha. Saya jamin saya tidak bisa diatur oleh pengusaha-pengusaha. Tetapi kita berjuang untuk bisa menyelesaikan masalah distribusi ini,” katanya dalam rapat dengan Komisi VI DPR, dikutip Jumat, 18 Maret.
Dengan berapi-api, Lutfi mengatakan bahwa pemerintah tidak kalah dengan pengusaha. Bukti tak kalahnya pemerintah dari pengusaha disebutnya lewat tarif ekspor yang dinaikkan untuk menjaga pasokan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dalam negeri dan membiayai subsidi minyak goreng curah melalui Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp14.000 per liter.
Sekadar informasi, subsidi minyak goreng curah berasal dari dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS). Sumber dana BPDP-KS berasal dari tarif ekspor CPO.
Pemerintah, kata Lutfi, akan menaikkan tarif ekspor dari 375 dolar AS per ton menjadi 575 dolar AS per ton. Langkah ini diambil untuk menaikkan kemampuan BPDP-KS. Menurut Lutfi, batas atas DP ekspor akan dinaikkan dari 1.000 dolar AS per ton menjadi 1.500 dolar AS per ton.
“Setiap naik 50 dolar-nya mereka mesti bayar 20 dolar. Kalau harganya naik tambah lagi tuh mereka bayarnya. Jadi itu yang kita kerjakan,” ucapnya.
“Nilainya 120 per ton, mereka mesti bayar 200 dolar per ton jadi kalau dikalikan 34 juta artinya nilainya ini setara dengan 7 miliar dolar. Jadi sama dengan Rp110 triliun. Jadi ini yang mesti diberikan dari pengusaha untuk bisa disubsidi (minyak goreng curah) daripada kegiatan yang kita kerjakan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia,” sambungnya.
Lebih lanjut, Lutfi mengatakan alasan mengapa kebijakan domestic market obligation (DMO) tak lagi diberlakukan. Kata dia, hal tersebut agar pengusaha CPO memilih menyuplai ke dalam negeri ketimbang ke luar negeri. Apalagi, mengingat bea keluar ekspor ditingkatkan.