WACANA penundaan pemilu semakin memanas usai Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan memiliki big data aspirasi masyarakat yang tak tertarik dengan gelaran Pemilu 2024.Ucapan Luhut tentunya mengamini usulan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar yang mencetuskan gagasan tersebut.Duet Imin-Luhut dalam menyanyikan wacana penundaan pemilu dinilai sebagian pihak membahayakan demokrasi. Sebab, Undang-undang jelas menyatakan bahwa presiden dan wakil dipilih lima tahun sekali.Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai, tak hanya membahayakan demokrasi, Imin dan Luhut juga mengancam konstitusi. Pasalnya, fungsi konstitusi adalah untuk membatasi kekuasaan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan oleh pemimpin negara.“Membahayakan demokrasi sebatas sudut pandang, yang jelas mereka mengancam konstitusi berfungsi sebagaimana seharusnya,” ujar Dedi, Rabu, 16 Maret.
“Konstitusi itu sebetulnya untuk membatasi kekuasaan agar tidak sewenang-wenang dan berlarut larut,” sambungnya.
Kalaupun upaya menunda pemilu itu berhasil, lanjut Dedi, dengan adanya amandemen mau tak mau harus mengubah banyak hal. Nantinya, kata dia, konstitusi akan berubah fungsi dari pembatas kekuasaan menjadi akomodator penguasa.
Baca Juga:Jelang Balapan MotoGP Penumpang di Padangbai Meningkat, Per Hari 1500 Orang 2 Pebalap Tim Mandalika SAG Ditantang Menjawab Pertanyaan Seputar Indonesia, Gabriel Rodrido: Saya Hanya Tahu Kata Semangat
“Kalau kemudian konstitusi itu mengakomodir agar bisa diubah supaya kepentingan Luhut dan kelompok penundaan pemilu ini bisa terjadi maka konstitusi tidak bisa lagi sebagai pembatas kekuasaan tetapi akomodator kekuasaan, itu yang keliru,” kata Dedi.
Jika sudah demikian, menurutnya, wacana penundaan pemilu bisa mengarah pada kejahatan demokrasi.
“Artinya wacana ini bisa saja bernada kriminal bagi demokrasi sekaligus bagi konstitusi kita,” tegasnya.
Sebab tambah Dedi, menunda pemilu bukan hanya satu persoalan tapi juga akan berdampak pada banyak hal. Termasuk perubahan skema kekuasaan tanpa pemilu dan juga masa transisi kekuasaan atau elit politik di perlemen, baik di daerah maupun tingkat provinsi.“Sehingga bisa mengubah tidak hanya satu hal tetapi mengubah banyak hal. Ketika mengubah banyak hal dalam waktu singkat saya kira kita tidak bisa mendiskusikan kualitas konstitusi, tentu akan rusak,” ucapnya. (*)