Presiden Rusia Boris Yeltsin pada tahun itu, menyetujui hal tersebut. Selanjutnya Rusia, Ukraina dan Belarusia membentuk Commonwealth of Independent States (CIS).
Namun perpecahan terjadi. Ukraina menganggap bahwa CIS adalah upaya Rusia untuk mengendalikan negara-negara di bawah Kekaisaran Rusia dan Uni Soviet.
Pada Mei 1997, Rusia dan Ukraina menandatangani perjanjian persahabatan. Hal tersebut adalah upaya untuk menyelesaikan ketidaksepakatan. Rusia diizinkan untuk mempertahankan kepemilikan mayoritas kapal di armada Laut Hitam yang berbasis di Krimea Ukraina. Rusia pun harus membayar Ukraina biaya sewa karena menggunakan Pelabuhan Sevastopol.
Baca Juga:Berpakaian Serba Hitam, Istri Doni Salmanan Penuhi Panggilan Penyidik BareskrimSalah Satu Korban KKB Papua Ternyata Warganya Anies Baswedan
Hubungan Rusia dan Ukraina memanas lagi sejak 2014. Kala itu muncul revolusi menentang supremasi Rusia. Massa anti-pemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych.
Kerusuhan bahkan sempat terjadi sebelum berdamai di 2015 dengan kesepakatan Minsk. Revolusi juga membuka keinginan Ukraina bergabung dengan Uni Eropa (UE) dan NATO
Ini, mengutip Al-Jazeera, membuat Putin marah karena prospek berdirinya pangkalan NATO di sebelah perbatasannya. Hal ini juga didukung semakin eratnya hubungan sejumlah negara Eropa Timur dengan NATO, sebut saja Polandia dan negara-negara Baltik.
Saat Yanukovych jatuh, Rusia menggunakan kekosongan kekuasaan untuk mencaplok Krimea di 2014. Rusia juga mendukung separatis di Ukraina timur, yakni Donetsk dan Luhansk, untuk menentang pemerintah Ukraina
Sebelum perang benar-benar terjadi, Putin sempat mengajukan tuntutan keamanan yang terperinci kepada Barat. Salah satu poinnya meminta NATO menghentikan semua aktivitas militer di Eropa Timur dan Ukraina.
Rusia meminta aliansi tersebut untuk tidak pernah menerima Ukraina atau negara-negara bekas Soviet lainnya sebagai anggota. Dalam wawancara eksklusif dengan CNBC Indonesia 16 Februari, Duta Besar Rusia Untuk Indonesia, Lyudmila Georgievna Vorobieva, mengatakan hal itu.
“Kami melihat ekspansi NATO yang telah berjalan selama 30 tahun lebih dan kini infrastruktur NATO makin dekat ke perbatasan kami,” jelasnya dalam wawancara kala itu.
Baca Juga:Densus 88 Tangkap Satu Terduga Teroris Jemaah Islamiyah di Samawa Village TangerangMeta Platform Inc. Izinkan Pengguna Facebook dan Instagram Unggah Hate Speech ke Tentara Rusia
Pada situasi ini, Ukraina hanya dijadikan alat untuk mengobarkan informasi perang terhadap Rusia. Sementara negara kami tengah mengupayakan diplomasi, pihak Barat terus mengobarkan informasi perang dan menciptakan ketegangan di perbatasan Rusia-Ukraina.”