ASOSIASI Pusat Studi Wanita, Gender dan Anak Indonesia (ASWGI) meminta pemerintah lebih mengutamakan tindakan daripada menunjukkan data-data berupa angka kuantitatif untuk menyelesaikan masalah kesetaraan gender di Tanah Air.
Hal itu dikatakan Ketua ASWGI Emy Susanti dalam Webinar ‘Mendobrak Bias dan Mewujudkan Kesetaraan Gender’ yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa 8 Maret.
“Kami khawatir akan terulang lagi dengan kebijakan-kebijakan yang justru ke arah yang tidak menghilangkan kesetaraan gender, tetapi malah memperdalam kembali masalah ini,” kata Emy.
Baca Juga:Mengapa Tingkat Kesetaraan Gender di Indonesia Masih Rendah?Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky Bantah Kabur Karena Tak Tahan Serangan Rusia
Emy menuturkan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah saat ini masih sangat kuantitatif. Seperti menggunakan data kekerasan seksual yang dikeluarkan oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan yang berbentuk angka dan memperlihatkan keprihatinan dan kondisi mengerikan.
Padahal untuk membongkar akar masalah kesetaraan gender, diperlukan riset atau kajian yang dapat menganalisis realitas di balik angka-angka tersebut. Karena isu tentang kesetaraan gender merupakan isu interaseksional yang berkaitan dengan berbagai isu inklusi sosial lain di dalamnya.
Dikarenakan ada data yang tidak bisa dilihat oleh masyarakat seperti kuasa tersembunyi di dalam ketidakadilan gender, adanya relasi kuasa yang timpang, marjinalisasi pemikiran perempuan. Termasuk persoalan pernikahan anak yang di dalamnya mengandung isu kesehatan reproduksi, eksploitasi anak dan lain sebagainya.
Kita benar-benar harus membongkar bias itu dengan cara mendekonstruksi, membalik pemikiran supaya tidak bias ke arah kesetaraan gender itu dengan meneliti. Kita percaya bahwa isu gender itu tidak bisa berdiri sendiri,” ucap Emy, dikutip dari Antara.
Menurut Emy, guna memecahkan masalah kesetaraan gender, pihaknya menggunakan metode kualitatif yakni participatory action research dan menjadikan objek penelitian turut dilibatkan sebagai subjek.
Metodologi itu dirasa dapat memotret akar masalah dari hulu hingga ke hilir yang nantinya membantu pemerintah untuk membuat kebijakan-kebijakan yang dapat memenuhi hak-hak dari setiap gender atau kelompok-kelompok rentan. “Jadi akan terungkap apa yang sebenarnya terjadi bukan sekadar angka, bukan sekadar kekerasan segini banyak, lalu dibuat kebijakan ini, kebijakan itu. Kalau kita tidak mencatut ke sana, kalau kita tidak menyentuh akar dibaliknya, itu tidak bisa diselesaikan,” kata dia.