Prasasti kedua yang ditemukan, masih dalam abad yang sama, menyatakan bahwa penduduk di sekitar kawasan Walandhit menyembah dewa yang bernama Sang Hyang Swayambuwa, atau yang dalam agama Hindu dikenal sebagai Dewa Brahma.
Mereka melakukan ibadah dengan kiblat ke arah Gunung Bromo, sebuah gunung yang dikeramatkan.
Prasasti lainnya kembali ditemukan pada 1880 di sekitar Desa Wonokitri, Kabupaten Pasuruan.
Baca Juga:Ornamen Runtuh di Lippo Mall Kemang saat Jakarta Diterjang Angin Kencang, 5 Orang TerlukaPolisi Selidiki Penyebab Ornamen Ambruk di Lippo Mal Kemang
Prasasti yang berangka tahun 1327 Çaka (1405 M) yakni pada zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk di Majapahit.
Dalam prasasti tersebut ditemukan fakta bahwa ada sebuah tempat suci yang dinamai hila-hila, berada di sekitar Walandhit.
Warga Walandhit melakukan pemujaan terhadap dewa dan dewi.
Mereka juga dibebaskan dari kewajiban membayar karena ketaatan beribadah.
Oleh sebab itu, kawasan tersebut dijadikan tempat suci, dan daerah bebas pajak (swatantra).
Pada 2002, ditemukan prasasti berupa lempengan tembaga sebanyak 8 lempeng di wilayah Desa Sapikerep, Kabupaten Probolinggo.
Dalam prasasti ini, tertulis angka 1197 Çaka (1275 M), yakni bersamaan dengan masa kejayaan Kerajaan Singasari.
Sebagaimana diketahui, Kerajaan Singasari berdiri sebelum Kerajaan Majapahit.
Dibuat atas perintah Raja Kertanegara, prasasti ini berisi pesan untuk membuatkan Parameshvara Pura, yaitu tempat pemujaan untuk orang-orang Tengger.
Juga, pesan agar orang-orang Tengger tidak lalai dalam melakukan pemujaan dengan sesajen di Gunung Bromo.
Baca Juga:Korban Kecelakaan Maut di Tol Dupak Surabaya 3 Orang, Gara-gara Penumpang Diduga Depresi Ambil Alih Kemudi BusPaus Sperma Panjang 9,40 Meter Lebar 1,97 Meter Mati Terdampar di Pulau Seram Bagian Timur
Terakhir, nama nama Walandhit sudah disebut oleh pujangga kenamaan dari kerajaan Majapahit bernama Prapanca.