Dalam kitabnya ini Ahmad Al-Khathib mebantah dan membatalkan semua amalan tarekat seperti wasilah, rabithah, kaifiyat-kaifiyat, dan wirid-wiridnya dengan argumen Al-Quran dan Sunnah. Tentang kitab ini, penulis Beberapa Aspek (hlm. 143) menulis, “…dalam karangannya, Ahmad Khatib memberikan beberapa alasan yang cukup kuat dan rasional untuk menentang tarekatt ini. Menurut muqaddimahnya, Ahmad Khatib mengambil bahan untuk begian pertama dari kitab Al Ba’its ila Inkar al-Bid’ah wa’l Hawadits, karangan Imam Syihabuddin bin Muhammad bin Abdul Rahman bin Ismail bin Ibrahim yang namanya termasyhur denagn Abu Syamah.”
Rupa-rupanya jawaban Ahmad Al-Khathib ini membuat geram dan marah seluruh ulama tarekat se-Minangkabau. Maka berduyun-duyunlah para ulama itu membantah Ahmad Al-Khathib.
Maka muncullah bantahan dari Muhammad Sa’ad Munqa berjudul Irgham ‘Unuf Al-Muta’annitin. Dengan menggunakan kata-kata yang cukup kasar membuat Ahmad Al-Khathib merasa tertantang sehingga mendorongnya untuk mengarang bantahan berikutnya bertajuk Al-Ayat Al-Bayyinat fi Raf’i Al-Khurafat.
Baca Juga:Modus Penguasaan Area Laut, Lain Bekasi Lain TangerangHasil Penyelidikan Polisi Ada Dugaan Pemalsuan Dokumen SHGB dan SHM Pagar Laut Tangerang: 44 Saksi
Bantahan kedua ini kembali mendapatkan tanggapan dari Sa’ad Munqa dengan ditulisnya kitab Tanbih Al-‘Awwam ‘ala Taghrirat Ba’dh Al-Anam. Kemudian muncul pula bantahan dari Ahmad Al-Khathib sebuah kitab berjudul As-Saif Al-Battar fi Mahq Kalimat Ba’dh Al-Aghrar.
Dalam pada itu, nampaknya salah satu murid Syaikh Ahmad Al-Khathib, ‘Abdul Karim Amrullah, tidak mau ketinggalan dalam menumpas kebathilan yang sudah menjamur di negerinya. Maka beliau mengambil bagian dalam polemik ini dengan mengarang buku bertajuk Qath’ Riqab Al-Mulhidin buat menyanggah Sa’ad Mungka dan tarekat Naqsyabandiyyah.
Perlu diketahui bahwa di waktu itu mayoritas ulama Minangkabau berpegang pada tarekat sufi. Dalam bukunya, Ayahku (hlm. 76), Hamka mengatakan, “Rupanya ulama-ulama Minang setelah gagal Pemberontakan telah banyak yang lebih condong pada tharikat, terutama Tharikat Naqsyabandiyah Khalidiyah.”
Perkataan Hamka ini mengomentari cerita Tuanku Syaikh ‘Abbas, “Padahal memasuki tharikat itu adalah pakaian hampir seluruh Ulama Minangkabau pada masa itu.” Hanya segelintir ulama saja yang terlepas dari tarekat, di antaranya selain Ahmad Al-Khathib dan ‘Abdul Karim Amrullah adalah Syaikh ‘Abdul Qadir bin Shabir Al-Mandili (w. 1302) yang juga pengajar di Masjidil Haram dan ‘Abdullah Ahmad.