Perjuangan Ulama Nusantara Membantah Sufi

Perjuangan Ulama Nusantara Membantah Sufi
Petilasan Syekh Siti Jenar di Banyuwangi
0 Komentar

DI awal-awal Islam mengibarkan panjinya di Nusantara, ajaran sufi sangatlah nampak dan jelas eksistensinya. Terlebih pada abad ke-6 dan ke-7. Hal ini sebagaimana pernyataan Prof. Dr. Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya, Menemukan Sejarah (hal. 160), “Tarekat mulai berkembang dan mempunyai pengaruh besar pada abad ke-6 dan ke-7 di Indonesia.”

Di antara tokoh-tokohnya pun sampai dapat menempati kedudukan tinggi di kerajaan, yaitu sebagai penasehat sultan atau raja, atau minimal sebagai panutan masyarakat. Sebut saja misalnya Hamzah Al-Fanshuri, Syamsuddin As-Sumatrani (w. 1039), Muhammad Yusuf Tajul Khalwati Al-Makassari (1037-1111), Abdush Shamad bin Abdurrahman Al-Falimbani (1116-1203), Muhammad Nafis bin Idris Al-Banjari (1148-… ).

Bahkan di antaranya pula ada yang meracik tarekat baru, seperti Ahmad bin ‘Abdul Ghaffar As-Sambasi (1217-1289) pendiri tarekat Naqsyabandiyyah wa Qadiriyyah yang kemudian diageni oleh ‘Abdul Karim Al-Bantani.

Baca Juga:Modus Penguasaan Area Laut, Lain Bekasi Lain TangerangHasil Penyelidikan Polisi Ada Dugaan Pemalsuan Dokumen SHGB dan SHM Pagar Laut Tangerang: 44 Saksi

Para tokoh sufi ini sudah banyak memberikan ajaran-ajaran yang mengerikan di tengah kaum muslimin saat itu. Ajaran yang paling ekstrim ialah ajaran hulul dan wihdatul wujud atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan “manunggaling kawulo Gusti”.

Syaikh Muhammad Nuruddin Ar-Raniri, seorang syaikhul islam di kerajaan, meriwayatkan dalam kitabnya, Fath Al-Mubin sebagaimana dalam Jaringan Ulama hal. 219, tentang faham wihdatul wujud di masa Sultan Iskandar Tsani yang merupakan warisan daripada Hamzah Al-Fanshuri dan Syamsuddin As-Sumatrani, “…dan lagi kata mereka itu, al-‘alam huwa Allah, huwa al-‘alam, bahwa alam itu Allah dan Allah itu alam.”

Dalam kitabnya berjudul Tanbih Ath-Thullab fi Ma’rifah Mulk Al-Wahhab, Syamsuddin menyatakan sebagai berikut, “I’tiqad tentang makna laa ilaaha illallaah adalah tiada wujud hanya Allah, yaitu tidak ada wujud pada hakikatnya melainkan hanya Wujud AllahTa’ala, menafikan (meniadakan) sekutu daripada Wujud Allah, mengitsbatkan keesaan Wujud-Nya, dengan tiada wujud haqiqi bagi lain-Nya. Maka wujud semua makhluk itu zhil (bayangan bagi Allah) lagi majazi. Yang majazi pada hakikatnya tiada ada pada sisi Allah.”

0 Komentar