OPSI perang tak pernah dianggap sebagai ujung tombak mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kemampuan militer Indonesia yang terbatas jadi muaranya. Pemimpin bangsa pun bersiasat. Diplomasi dimajukan sebagai strategi. Sutan Sjahrir ada di baliknya. Langkah itu efektif. Diplomasi banyak membuka dukungan internasional. Republik Sosialis Soviet Ukraina, salah satunya. Dukungan Ukraina pada 1946 berarti sekali bagi Indonesia. Berkatnya, Indonesia langgeng sebagai negara merdeka.
Fase awal kemerdekaan Indonesia adalah periode penuh kesukaran. Fondasi pemerintahan baru tak cukup kuat untuk menahan laju keinginan Belanda menguasai Indonesia kali kedua. Apalagi, Indonesia sendiri belum kuat secara institusional ataupun kekuatan militer. Karenanya, opsi mengangkat senjata untuk mengakhiri dominasi Belanda tak pernah dianggap ujung tombak.
Sebagai gantinya, pemerintah hanya dihadapkan oleh pilihan: menghindari sikap permusuhan atau hancur lebur dalam peperangan. Semua itu karena Belanda dalam panji Netherland Indies Civil Administration (NICA) telah membonceng sekutu, Inggris. Demi memuluskan agenda penjajahan, pikirnya.
Baca Juga:Ayah Perkosa Anak Kandung di Depok, Ancam Golok Jika Tak Turuti NafsuHarga iPhone SE Plus 5G Rilis Maret 2022, Tidak Sampai Rp5 Juta
Boleh jadi narasi perang terus dikobarkan. Tapi perang bukan satu-satunya solusi. Pemimpin Indonesia pun segara putar otak. Sutan Sjahrir, utamanya. Diplomasi dipilihnya sebagai kunci utama untuk Indonesia bisa menjaga kemerdekaan. Artinya, diplomasi dapat menjadi kunci bagi kelangsungan hidup negara baru: Indonesia.
Langkah itu lalu memantik perdebatan. Banyak pihak yang tak setuju upaya diplomasi dijadikan ujung tombak. Sebab, perang adalah jalan satu-satunya mengusir penjajah. Namun, Sutan Sjahrir menganggap sepi saja komentar yang mengkritik langkahnya. Bung Sjahrir tetap menjalankan agenda diplomasinya untuk mencari dukungan dunia. Upaya itu besar artinya bagi Indoensia.
“Menoleh kembali ke tahun-tahun pertama peperangan kemerdekaan kita, saya kini (meskipun waktu itu sebagai seorang muda juga sering merasa tidak sabar dengan politik perundingan) tak begitu yakin dengan sikap kawan-kawan yang menganut ‘paham keras.’ Saya kini cenderung membenarkan politik yang digariskan Bung Sjahrir pada masa itu.
”Cobalah bayangkan dengan kekuatan persenjataan apa kita pada masa itu akan dapat menghadapi kekuatan perang Inggris dan Belanda, yang menguasai udara dan lautan, angkatan perang serikat yang baru tampil penuh kemenangan gemilang dari sebuah peperangan dunia? Kini setelah kita tidak perlu menghadapi bahaya maut lagi, tentu saja mudah mengatakan bahwa politik ‘garis keras’ akan lebih efektif daripada politik perundingan,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Mengenang Sjahrir (2013).