Pertama, terkait dengan kesaksian Prof. Kahin di atas, agaknya perlu untuk dikaji ulang mengenai historiografi di Indonesia, terutama semasa Revolusi 1945-1949. Apalagi beragam kesaksian yang kerap diabaikan lantaran ada sejumlah peristiwa yang terlalu dipandang lebih penting dan menentukan secara sosial dan politik.
Dalam SO 1 Maret, pandangan seperti itu dibangun melalui tokoh dan peran yang amat sentralistik dengan konsekuensi menghilangkan beberapa bagian yang sebenarnya tak kalah penting dan mendesak. Misalnya, saat terjadi serangan pada 9 Januari 1949 pasukan yang berada di garis depan pertempuran adalah KRIS (Kebaktian Rakjat Indonesia Soelawesi).
Kedua, diplomasi dari para tokoh terdidik dan terpelajar Indonesia sesungguhnya memainkan peran yang cukup besar dan berpengaruh. Buktinya, Prof. Kahin yang sejak semula selalu dicurigai sebagai “agen ganda” (double agent), baik oleh pasukan RI maupun pasukan Belanda, namun berkat jasa baik dari para diplomat ulung Indonesia, beliau masih dapat tinggal di Indonesia.
Baca Juga:Serangan Umum 1 Maret 1949 yang digagas Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Hari Penegakan Kedaulatan NegaraDerita Warga Rusia atas Invasi ke Ukraina
Meski berkewarganegaraan Amerika, Prof. Kahin yang selalu dituduh sebagai orang Belanda, bahkan agen rahasia dari pemerintah Amerika, tampak dengan mudah bergaul dan bersahabat dengan para pemimpin Indonesia, termasuk para pasukan di medan perang. Itulah mengapa ketika berhadapan dengan ribuan orang yang adalah para pejuang lokal di Kebumen, beliau dengan pengetahuan bahasa Indonesia yang serba terbatas berpidato untuk menjelaskan bahwa dirinya adalah orang Amerika melalui bendera-bendera Amerika yang terpasang di jip-nya.
Ketiga, keterlibatan rakyat, khususnya para pemuda, dalam Revolusi 1945-1949 merupakan kunci dari perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Karena itu, “nasionalisme dari bawah” ini patut dicatat dan dihargai dalam sejarah sebagai sumbangan berharga yang mampu membawa Indonesia keluar dari “Zaman Edan” atau “Zaman Kacau Balau” (Dursetut).
Hal itu dimungkinkan berkat semangat revolusioner yang diperoleh semasa pendudukan balatentara Jepang lewat penanaman semangat Bushido demi membela tanah air seperti dalam pendidikan dan pelatihan di asrama Peta atau “Pembela Tanah Air (Benedict Anderson, Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1945, Serpong, Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2018).