MENARIK bahwa ada kesaksian dari Prof. George Kahin tentang SO 1 Maret 1949. Menurutnya, SO 1 Maret bukanlah serangan balasan pertama dan terbesar dari pasukan RI terhadap Belanda setelah Agresi Militer 19 Desember 1948. Sebab sebelumnya ternyata sudah ada serangan yang cukup dahsyat, bahkan nyaris mematikan, misalnya pada 9 Januari 1949.
Syukurlah, serangan berupa pemboman atas Hotel Merdeka atau Hotel Garuda di Yogyakarta dapat dibatalkan (Colin Wild dan Peter Carey (ed.), Gelora Api Revolusi, Jakarta: Gramedia, 1986). Hal itu adalah berkat jasa Prof. Kahin yang dapat melobi pasukan RI karena kebetulan ditangkap dan sedang ditahan di hotel itu oleh Belanda.
Hanya sayangnya, kesaksian seperti itu tidak mudah ditemukan dalam buku sejarah nasional Indonesia masa kini. Bukan karena tidak dicatat, melainkan lantaran SO 1 Maret terlalu ditampilkan sebagai sejarah yang dominan. Itulah mengapa dalam sejarah Revolusi 1945 – 1949 di Indonesia seolah-olah tiada yang lebih penting dan menentukan daripada SO 1 Maret. Akibatnya, SO 1 Maret sekadar menjadi mitos yang diwariskan tanpa ada yang dapat mempertanyakan, bahkan menggugatnya.
Baca Juga:Serangan Umum 1 Maret 1949 yang digagas Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Hari Penegakan Kedaulatan NegaraDerita Warga Rusia atas Invasi ke Ukraina
Mitos dalam sejarah biasanya cenderung bernuansa “hitam-putih”. Itu artinya, hanya ada satu kebenaran yang tunggal dan seragam. Maka, jika SO 1 Maret dijadikan mitos dalam sejarah, sulit untuk dibantah bahwa seakan-akan tiada sejarah serevolusioner SO 1 Maret.
Hal itu dapat disaksikan pada bagaimana SO 1 Maret direkonstruksi sebagai sejarah yang terlalu memusatkan pada kisah dan tokoh dalam perjuangan bersenjata belaka. Padahal ada jenis perjuangan lain, seperti diplomasi, yang juga turut memainkan peran cukup penting. Dan yang tak kalah penting juga adalah kesadaran nasionalisme dari rakyat yang rela mengorbankan nyawa demi mempertahankan kemerdekaan.
Karena itu, angkat senjata, diplomasi dan nasionalisme adalah “bahan bakar” yang tak bisa dilepaskan dalam perjuangan selama Revolusi di Indonesia. Sebab ketiganya tidaklah berdiri sendiri-sendiri, tetapi saling terkait satu sama lain. Keterkaitan itulah yang membuat SO 1 Maret tidak perlu lagi untuk dimitoskan, apalagi dikultuskan dengan menampilkan tokoh dan peran tertentu dalam sejarah. Dengan kata lain, diperlukan upaya-upaya demitologi yang mampu meletakkan SO 1 Maret sebagai sejarah yang tidak melulu bernuansa angkat senjata.