GUBERNUR Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, menyampaikan, ketidakpastian global diantaranya tensi geopolitik antara Rusia-Ukraina, dan kebijakan suku bunga acuan The Fed akan memengaruhi proses pertumbuhan ekonomi dan stabilitas moneter sistem keuangan.
Kedua tantangan global tersebut, juga dikhawatirkan akan memengaruhi stabilitas moneter di dalam negeri. Hal ini tercermin dari revisi ke bawah angka pertumbuhan ekonomi global oleh International Monetary Fund (IMF) menjadi 4,4% pada 2022.
“IMF sudah revisi ke bawah pertumbuhan ekonomi global mempertimbangkan tensi geopolitik, juga meningkatnya Covid-19 varian baru Omicron,” kata Perry Warjiyo dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bersama dengan Pemimpin Redaksi Media Massa, Rabu (23/2/2022).
Baca Juga:Kasus Dugaan Penistaan Agama, Jenderal Dudung Sebut Tuhan Bukan Orang Arab DihentikanPelapor Kasus Dugaan Korupsi Kades Citemu Bukan Nurhayati, Ternyata
Menurut Perry, Bank Indonesia telah melakukan kajian tantangan global tersebut dan memperkirakan pertumbuhan ekonomi global hanya tumbuh 4,4% pada tahun ini.
Sementara itu, normalisasi kebijakan negara maju yang akan memengaruhi proses pemulihan dan menghambat aliran portofolio asing ke negara berkembang, termasuk Indonesia.
Meski demikian, Perry menyebut dampak dari tensi geopolitik ke kinerja ekspor Indonesia tidak akan signifikan, mengingat ekspor Indonesia yang berbasis komoditas.
“BI optimistis, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini akan mencapai kisaran 4,7% hingga 5,5%. Kedua, sudah hilirisasi komoditas jadi value added ekspor tetap baik dan mendukung sumber pertumbuhan ekonomi dari sisi ekspor,” jelas Perry.
“Jadi kesimpulannya, kami masih pertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,7% hingga 5,5%. Kemudian assessment risiko kami masih tetap balance kecenderungan pertumbuhan ekonomi di titik tengah 5,1%, sehingga belum kami melihat ada suatu reason atau justifikasi atau suatu keperluan untuk revisi titik tengah,” tambahnya.
Menurut Perry, proyeksi pasar terkait berapa kali The Fed menaikkan suku bunga empat atau lima kali, ujungnya tetap akan memiliki dampak pada sisi pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia. Meski belum resmi menaikkan suku bunga, namun dampaknya pun sudah terasa di pasar keuangan negara maju dan Indonesia.
Hal ini tercermin dari kenaikan imbal hasil (yield) dari surat utang pemerintah AS atau US Treasury yang merangkak naik hingga 1,97%. Alhasil mendorong peningkatan yield pada surat berharga negara (SBN) sudah di level 6,4%.