Manakala zaman Orba, buat menjaga jangan sampai “kesusupan” komunis, pemerintah mewajibkan rakyat memiliki “surat bebas G/30 PKI.” Sebenarnya rakyat sendiri, kala itu sebagian besar juga sudah anti komunis, tetapi ketika diwajibkan memiliki surat “bebas G -30 S/PKI” bukan lagi kebutuhan rakyat, tapi sudah menjadi alat kekuasaan pemerintah. Dengan begitu sebaliknya, hal itu sudah berubah menjadi beban rakyat dan terjadilah banyak ekses.
Demikian pula BPJS Kesehatan yang semula menjadi kebutuhan rakyat, tapi digunakan sebagai syarat satu transaksi jual beli tanah, akhirnya menjadi alat kekuasaan pemerintah dan telah berubah menjadi beban yang memberatkan masyarakat. BPJS Kesehatan yang sebelumnya menjadi ciri negara kesejahteraan, ketika dijadikan alat kekuasaan berubah menjdi beban rakyat sekaligus menjadi karakter negara otoriter.
Selain itu kewajiban melakukan transaksi jual beli tanah wajib melampirkan kartu BPJS Kesehatan secara tak langsung dapat “menggampar” pula wajah presiden. Lho memangnya kenala? Inpres Optimalisasi BPJS Kesebatan yang bertujuan baik, agar kemanfaatan BPJS Kesehatan dapat dinikmati sebanyak mungkin anak bangsa, namun dengan adanya syarat tambahan perlu kartu BPJS Kesehatan dalam transaksi jual beli tanah, seakan dibuat kesan presiden digiring untuk mempersulit rakyat. Syarat ini dapat menjadi “framing” yang buruk terhadap presiden yang mengeluarkan Inpres. Sesuatu yang bertolak belakang dengan Inpres presiden itu sendiri.Maka sudah selayaknya syarat memikiki kartu BPJS dalam transaksi jual beli tanah tersebut dicabut, kecuali sistem pertanahan kita memang mau diarahkan ke system negara otokratis.(*)
*Wina Armada Sukardi, wartawan senior dan advokat