Selain itu, kalau keanggotaan BPJS Kesehatan merupakan keanggotaan pribadi, para orang berduit sering melakukan jual beli tanah dengan atas nama perusahaan atau organisasi. Jadi, kewajiban menyertakan kartu BPJS juga tidak efektif untuk mengumpulkan duit dari strata masyarakat seperti ini.
Berbagai kewajiban menyertakan bukti keanggota BPJS berawal dari Instruksi Presiden (Inpres) No 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Aturan itu diteken Presiden Jokowi, 6 Januari lalu.
Inpres tersebut pada intinya menginstruksikan kepada berbagai kementerian, Kejaksaan Agung, Polri, BPJS Kesehatan, Gubernur, Bupati, Wali Kota, Dewan Jaminan Sosial untuk mengambil langkah-langkah sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing dalam rangka optimalisasi program Jaminan Kesehatan Nasional.
Baca Juga:Dyah Pitaloka Citaremi Putri Ajung Larang Berhasil ‘Menyihir’ Raja Majapahit hingga Ciptakan Perang BubatFirli Bahuri Pentingnya Revolusi Digital Dan Menguatnya Peran Medsos
Sedangkan Kementerian ATR/BPN kemudian menindaklanjuti Inpres tersebut dengan menerbitkan Surat Edaran (SE) yang diteken Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Suyus Windayana. Surat itu pada intinya menyatakan sejak tanggal 1 Maret 2022 kartu BPJS Kesehatan menjadi syarat permohonan pelayanan jual beli tanah.
Banyak MasalahBanyak masalah dari ketentuan kewajiban yang mensyaratkan dalam jual beli tanah warga Indonesia wajib memilik kartu BPJS Kesehatan.
Pertama, hal ini menjadi beban tambahan bagi para notaris. Selama ini selain diwajibkan memeriksa soal pajak para penjual dan pembeli tanah, notaris juga sudah diisyaratkan untuk ikut membantu PPATK menelusuri asal muasal duit untuk jual beli tanah. Sekarang tambah lagi dengan pekerjaan untuk mengecek keaslian kartu BPJS Kesehatan beserta kewajiban pelunasannya. Kalau notaris “kecolongan” kartu BPJS Kesehatannya bodong atau belum dibayar, tetapi transaksi jual beli tanahnya disahkan, maka notaris harus ikut bertanggung jawab. Dan itu hukumannya nanti bisa saja berlaku hukum pidana. Berarti kalau notaris teledor, siap-siap bakal dapat sanksi. Jadi, hanya menambah kerjaan notaris saja.
Kedua, kalau seluruh anak bangsa untuk seluruh penyakit, dari yang ringat seperti flue sampai yang berat operasi tingkat 4, seluruhnya memakai BPJS Kesehatan , perlu dipertimbangkan apakah kapasitas rumah sakitnyan sudah memadai. Sekarang aja para pemakai BPJS Kesehatan untuk menunggu dapat no antrian pemeriksaan pada waktunya, sudah harus antri dari subuh, dan sering baru sore dapat giliran. Itu pun tindakan operasinya rata-rata baru dapat terlaksana dua minggu atau sebulan kemudian, lantaran penuh. Bagaimana kalau seluruh strata masyarakat tiba-tiba untuk seluruh jenis penyakit yang dimungkinkan okeh BPJS Kesehatan memakai BPJS Kesehatan? Pastilah rumah sakit kewalahan. Pelayananpun otomatis bakal menurun.