Lonjakan harga minyak goreng di Indonesia ini menjadi ironi, mengingat pa sokan minyak sawit di Indonesia selalu melimpah. Bahkan tercatat jadi Negara penghasil CPO terbesar di dunia. Para produsen menjual minyak goreng dengan harga tinggi meski bahan bakunya dari pohon sawit yang ditanam di atas lahan milik negara yang diberikan pemerintah melalui skema hak guna usaha (HGU).
Ironisnya lagi, pemerintah dibuat tidak berdaya ketika terjadi kenaikan harga minyak goreng dalam dua bulan terakhir. Pemerintah sampai harus turun tangan mengintervensi harga dengan kebijakan satu harga.
Namun kebijakan ini pun terbukti tidak efektif. Stok minyak goreng sesuai harga eceran tertinggi (HET) belum cukup tersedia di pasar. Kelangkaan stok minyak goreng dengan harga sesuai HET dijumpai Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi ketika meninjau implementasi kebijakan HET minyak goreng di Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur, Kamis (3/2). Namun dia meyakini harga minyak goreng di pasar rakyat akan mengikuti HET yang telah ditetapkan pemerintah dalam waktu tiga hingga empat hari ke depan.
Baca Juga:Pesta Semalam Suntuk, Adriano Leite Riberio Bayar Rp250 Juta untuk 18 PelacurFakta Nisan Dorce Gamalama Dikubur Sebagai Laki-Laki
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit mencantumkan HET migor curah Rp 11.500 per liter, migor kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan migor kemasan premium Rp 14.000 per liter. Permendag tersebut berlaku mulai 1 Februari 2022.
Bersamaan dengan kebijakan HET, pemerintah juga menetapkan aturan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) terhadap minyak goreng dalam negeri yang berlaku mulai 27 Januari 2022. Kebijakan DMO mewajibkan pasokan ke dalam negeri sebesar 20% dari volume ekspor bagi seluruh produsen minyak goreng yang akan melakukan ekspor.
Sementara kebijakan DPO menetapkan harga sebesar Rp 9.300 per kilogram untuk CPO dan 10.300 per kilogram untuk olein. Selain dugaan praktik kartel, KPPU juga melihat adanya praktik oligopoli. Ka rena itu, intervensi yang dilakukan di hilir kurang efektif tanpa pembenahan struktur industrinya dari hulu.
Hal ini karena posisi tahap awalnya ada di perusahaan-perusahaan besar tersebut. Sementara penetapan satu harga minyak goreng hanya bagus dalam jangka pendek, tetapi di jangka panjang belum dapat menyelesaikan persoalan industri yang diwarnai oleh tingginya konsentrasi pelaku usaha yang terintegrasi dan kebijakan yang belum mendorong peningkatan jumlah pelaku usaha di industri tersebut. Padahal, semakin banyak pelaku usaha diharapkan akan mengurangi dominasi kelompok usaha yang berintegrasi secara vertikal.