Hasil riset ini tak lepas berkat pemetaan citra profil morfologi dengan resolusi tinggi lewat penggunaan LIDAR (Light Detection and Ranging). Dari data ini, dengan hitung-hitungan formula ahli paleoseismologi, diperolehlah data empiris soal potensi energi seismik yang dihasilkan saat sesar Lembang aktif. Paleoseismologi adalah studi batuan kuno dan sedimen untuk bukti peristiwa seismik, seperti gempa bumi dan tsunami, dari zaman sebelum catatan disimpan.
“Jika segmen sepanjang 29 kilometer ini bergerak serempak, kekuatannya berkisar 6,5 – 7 skala Richter,” ujar Dr. Mudrik Rahmawan Daryono, peneliti dari Geoteknologi LIPI.
Pertanyaan mendasar yang seringkali diajukan: Kapan sesar Lembang aktif menjadi gempa besar?
Baca Juga:Gajah Sumatera Terekam Kamera Melintas Jalan Tol Pekanbaru-Dumai KM735 Alasan Kenapa Kucing Takut dengan Timun
Upaya mencari jawaban ini sudah lama dilakoni. Penelitian sesar Lembang bukan hal baru. Ahli Bumi alias geolog asal Belanda, R.W. van Bemmelen, sudah melakukannya pada 1940.
Riset sesar Lembang disertakan dalam The Geology of Indonesia (1949), kitab babon van Bemmelen bagi para geolog Indonesia. Ia menyebut kali terakhir sesar Lembang aktif pada 100.000 tahun lalu, bertepatan pembentukan kaldera Gunung Sunda. Pada 1996, penelitian Jan Nossim di Kampung Panyairan, Cihideung, menunjukkan kali terakhir sesar Lembang aktif pada 24.000 tahun lalu.
Sebuah sesar disebut aktif jika ia pernah bergeser pada waktu Holosen—dimulai 11.500 tahun lalu hingga sekarang. Jelas, jika mengacu penelitian van Bemmelen dan Nossim, sesar Lembang tidak masuk dalam kategori sesar aktif. (*)