Pasukan Majapahit di bawah pimpinan Husen selalu menghindar sampai terjadi perang di Sedayu yang mengakibatkan Sunan Undang wafat. Namun Husen tidak melanjutkan serangan dan Majapahit ingin membujuk Raden Patah untuk datang dan tunduk ke Majapahit secara damai.
Raden Patah lalu minta dukungan Aria Damar dari Palembang. Ia diberi kotak yang bisa mengeluarkan ribuan tikus. Sunan Gunung Jati memberi baju besi. Sunan Giri memberi keris yang bisa mengeluarkan kumbang. Sunan Bonang memberi tongkat yang bisa mengeluarkan tentara.
Di bawah pimpinan Pangeran Kudus (anak Sunan Undang), Demak menyerang Majapahit. Dengan bantuan berbagai senjata dari para tokoh di atas, Majapahit berhasil ditaklukkan. Raja dan pengikutnya dibuang ke Timur. Pangeran Kudus lalu menyerang pasukan terakhir di bawah pimpinan Husen hingga akhirnya Husen menyerah. Hal itu terjadi tahun 1400 Jawa atau 1478 Masehi.
Baca Juga:Kejagung Periksa Mantan Komisaris BRTI Terkait Kasus Dugaan Korupsi Pengadaan Satelit, Status Sebagai SaksiPasar di Bogor Jual Minyak Goreng Harga Eceran Tertinggi Rp14.000, Ketersediaan Masih Terbatas
Pangeran Kudus bersama Husen lalu melakukan penyerbuan kembali setelah Raja Brawijaya mendapatkan dukungan dari propinsi-propinsi sebelah Timur. Pasukan Majapahit kalah dan lari sampai Palembang. Raja Brawijaya berhasil menyeberang ke Bali tahun 1481 M.
Meski menceritakan kisah tersebut, Raffles menunjukkan kritik akan lamanya Angka Wijaya berkuasa yaitu dari sebelum tahun 1398 M hingga 1478 M. Usia putri Campa yang lebih dari 100 tahun saat mendapat perlindungan Sunan Bonang, tapi nisannya sendiri bertahun 1398 M.
Sejarah versi lokal yang ditulis oleh Raffles menunjukkan pokok narasi yang berbeda dengan versi Serat Darmogandul. Hal itu dapat dipahami karena Serat Darmogandul sendiri mengakui bahwa isinya tidak didasarkan sumber-sumber tertentu. Tentu saja tidak mungkin narasi seperti Darmogandul berangkat dari ruang kosong, tetapi pengarangnya memberikan tafsir sendiri sesuai dengan cara ia melihat pengaruh Islam sebagai faktor yang merusak di Jawa. (*)