Sementara itu, Damar Sashangka, seorang penulis tentang kebatinan Jawa, membuat terjemahan dan ulasan atas Serat Darmogandul berdasarkan Babon (Induk) peninggalan K.RT. Tandhsnegara Surkarta dengan penjelasan bahwa serat tersebut berisi kisah mengenai berdirinya Kerajaan Islam Demak, runtuhnya Majapahit dan awal mula orang Buda (sebutan bagi pemeluk agama India pra-Islam di Jawa) masuk Islam.
Keberadaan naskah Darmogandul di lingkaran priyayi bukan hal aneh. Ricklefs menyebut bahwa Serat tersebut diajarkan di sekolah-sekolah priyayi di Probolinggo, Magelang dan Bandung pada tahun 1879-1880.
Serat Darmogandul berisi percakapan Ki Kalamwadi dan Ki Darmogandul. Ki Kalamwadi bercerita berdasarkan tuturan gurunya, yaitu Raden Budi Sukardi. Tuturan itu disebut tanpa ada sumber tertulis yang menjadi dasar. Serat Darmogandul versi terjemah mulai dengan pertanyaan mengapa orang Jawa berubah agama menjadi pemeluk Islam. Bagian ini mirip dengan bagian akhir Babad Kadhiri.
Baca Juga:Kejagung Periksa Mantan Komisaris BRTI Terkait Kasus Dugaan Korupsi Pengadaan Satelit, Status Sebagai SaksiPasar di Bogor Jual Minyak Goreng Harga Eceran Tertinggi Rp14.000, Ketersediaan Masih Terbatas
Kisah dimulai dengan perjalan Sunan Bonang dan muridnya untuk mengunjungi Kediri. Di Kertosono, sudah tiba waktu shalat ashar dan juga mereka haus. Sungai kebetulan banjir sehingga airnya kotor.
Sunan Bonang menyuruh muridnya untuk meminta air bersih pada warga. Si murid bertemu seorang gadis dan minta simpanan air bersih. Si gadis mengira si santri menggodanya dan menjawab kasar bahwa air simpanan yang ada air kencing.
Mendengar laporan muridnya Sunan Bonang marah sehingga memindahkan aliran sungai dan mengutuk remaja desa setempat akan sulit menikah. Pemindahan sungai oleh Sunan Bonang ini didengar ratu makhluk halus, Nyai Plencing.
Nyai Plencing ingin mengingatkan Sunan Bonang, tetapi tidak kuat karena merasa panas. Akhirnya ia meminta bantuan Butha Locaya, makhluk halus mantan patih Raja Jayabaya. Butha Locaya mengingatkan kutukan Sunan Bonang yang berlebihan. Sunan Bonang tidak peduli dan melanjutkan perjalanan. Ia bertemu patung kuda yang kemudian ia hancurkan dan bertemu patung lain yang ia potong kepalanya.
Konon, patung Totok Kerot di dekat Pagu Menang tangannya patah karena perbuatan Sunan Bonang, meski menurut versi masyarakat patahnya tangan Totok Kerot karena usaha pemindahan masa modern ini.