ANGGOTA Dewan Pers Tri Agung Kristanto mengatakan, pemahaman wartawan terhadap kode etik dari dulu masih rendah.
Hal ini terbukti dengan banyaknya pengaduan masyarakat terkait pelanggaran kode etik. “Pengaduan itu bahkan lebih banyak terkait soal judul,” ujar Tri Agung, melalui keterangan tertulis, Rabu (9/2).
Selain soal judul, ada juga wartawan yang melanggar hal-hal lain berkenaan dengan Pasal 1 dan Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik. Misalnya, mengenai itikad buruk. Tri memperkirakan, aduan pelanggaran kode etik wartawan bakal terus naik. Terutama, menjelang tahun politik. Karena itu dia berharap, wartawan mampu menjaga akurasi dalam bekerja.
Baca Juga:66 Warga Wadas Dipulangkan PolisiSeperti Kucuran Modal ke Starup Kaesang Sebesar Rp 71 Miliar, Bhima Yudistira: Modus Baru Tindak Pidana Pencucian Uang
“Jangan terpancing kecepatan media sosial dengan mengabaikan proses jurnalistik yang seharusnya dilakukan,” ingatnya.
Selain itu, ia juga mencontohkan praktik pengutipan yang kerap terjadi tanpa adanya konfirmasi. Hal tersebut dinilai sangat berbahaya dan wajib dihindarkan.
Wartawan harus tetap profesional Soalnya, hasil survei Edelman Tahun 2021 menunjukkan adanya kenaikan tingkat kepercayaan publik pada pers dalam era disrupsi, meskipun hanya satu persen.
Hal itu membuktikan wartawan dengan produk jurnalistiknya tetap diandalkan. “Pers tetap berkawan dengan media sosial, namun kita tidak boleh terlarut atau terpancing olehnya,” imbau Tri.
Senada, anggota Dewan Kehormatan (DK) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Asro Kamal Rokan menekankan mengenai perlunya memahami dan menaati Kode Etik Jurnalistik oleh jurnalis.
Berdasarkan hasil survei Dewan Pers, terdapat sekitar 70 persen wartawan tidak memahami kode etik wartawan. Padahal, hal itu adalah kompetensi tertinggi wartawan sebenarnya.
“Itu di atas segala-galanya. Uji kompetensi wartawan yang diadakan harus selalu mengacu hal itu. Jangan sampai ada penguji yang malah tak paham kode etik,” sesal Asro. (*)