PUSAT Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengatakan telah menerima 73.000 laporan transaksi keuangan mencurigakan pada tahun 2021, naik dari 68.057 pada tahun 2020, dan 2,4 juta laporan transaksi keuangan mencurigakan, turun dari 2,7 juta pada tahun 2020.
Meskipun jumlah transaksi tunai menurun tahun lalu, tren ini masih mengkhawatirkan karena hanya satu transaksi dan beberapa pembayaran tunai dalam satu hari yang menghindari (smurfing) ambang batas pelaporan Rp 500 juta (US$34.720) yang diklasifikasikan sebagai transaksi tunai mencurigakan. Mengingat kemajuan dalam pembayaran elektronik, tren ini menegaskan bahwa uang tunai tetap menjadi kendaraan pilihan bagi penjahat untuk mencuci uang di dalam negeri, regional dan internasional.
Sayangnya, tidak satu persen pun dari transaksi mencurigakan yang dilaporkan dapat dimasukkan ke dalam kasus pidana pencucian uang dan lebih jauh lagi, sangat sedikit dari kasus tersebut yang akhirnya berujung pada hukuman.
Baca Juga:Al Chaidar: Pernyataan Jenderal Dudung soal Radikal Kanan Benar, tapi Upaya Kontra Terorisme Negara Jauh TertinggalHeboh di Twitter Munarman Dituntut Hukuman Mati, Kuasa Hukum: Hoaks
Penyebab utama lemahnya penegakan hukum anti pencucian uang. Oleh karena PPATK, sejenis lembaga yang di negara lain disebut lembaga intelijen keuangan, tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan dalam kasus pencucian uang. PPATK hanya diberi mandat untuk menganalisis transaksi mencurigakan dan melaporkan hasil analisisnya kepada aparat penegak hukum: Polri, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun, yang mengecewakan adalah lembaga-lembaga ini tidak memiliki sumber daya dan kompetensi teknis yang memadai untuk mengembangkan berkas-berkas tentang kasus-kasus pencucian uang yang kuat. Lebih mengecewakan lagi, banyak hakim tidak memiliki pemahaman penuh tentang apa sebenarnya pencucian uang, dengan semua bentuk transaksi yang kompleks, meskipun kerangka hukum dan penegakan hukum anti pencucian uang diluncurkan pada tahun 2003 di bawah Undang-Undang Pencucian Uang 2002, dan kemudian diganti dengan UU No.8/2010.
Beberapa kasus yang berujung pada vonis adalah kasus korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar hakim masih menganggap kasus pencucian uang harus didukung oleh bukti kejahatan hasil pencucian uang, padahal menurut undang-undang TPPU 2010, kejahatan hal itu tidak perlu dibuktikan. Undang-undang mengamanatkan bahwa bukan jaksa tetapi terdakwa kasus pencucian uang yang wajib membuktikan tidak bersalah dengan membuktikan bahwa uang atau aset yang terlibat dalam transaksi keuangan sesuai dengan profil keuangan mereka.