Kendati demikian, Gubernur Mauritius dan Crommelin telah berhasil membuat perjanjian damai dengan beberapa Suku Marron. Pasalnya, masih ada suku di Suriname yang menyerang pemukiman Eropa.
Kemudian, pada Revolusi Prancis tahun 1789 perbudakan di tetangga timur Suriname, Guyana Prancis dihapuskan. Sementara itu, Suriname diduduki oleh Inggris pada tahun 1799.
Inggris datang ke Suriname, setelah Belanda menjadi bagian dari Prancis. Suriname ada di tangan Inggris hingga 1816. Inggris menghapuskan perdagangan budak di Suriname pada 1808. Selain itu, Inggris juga menaikkan kodrat posisi budak di Suriname.
Baca Juga:Mengungkap Kapal Van der Wijck yang Tenggelam di Perairan LamonganBeijing Kerahkan Kapal Patroli Maritim Raksasa Haixun 09 di Laut China Selatan
Lalu, pada 1 Juli 1863, Belanda menjadi orang Eropa terakhir yang menghapus perbudakan di Suriname. Meski begitu, 10 tahun sebelum tanggal dihapuskannya perbudakan di Suriname, Belanda telah mendatangkan para buruh dari benua lain. Buruh-buruh tersebut ialah orang Tionghoa dari Indonesia dan para petani Belanda dari Groningen.
Kedatangan para petani Belanda ditujukan agar dapat menyelamatkan pertanian Suriname, tapi hal ini tidak berhasil. Setengah dari para petani Belanda meninggal dalam waktu satu tahun. Kemudian, orang Tionghoa segera meninggalkan wilayah perkebunan setelah masa kerja mereka habis atau selama wajib lima tahun bekerja.
Sementara itu, orang Indonesia datang ke Suriname sekitar tahun 1940-an. Pasalnya para buruh India digantikan oleh orang-orang dari koloni Belanda lain, yaitu Indonesia yang jumlahnya ada sekitar 33 ribu orang.
Dikutip dari Tirto.id, bahasa Jawa di Suriname bermula dari kedatangan orang-orang Jawa yang datang ke Guyana Belanda (yang kini bernama Suriname) secara bergelombang sejak tahun 1880an.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, banyak orang Jawa Suriname yang ingin pulang ke Jawa. Sekitar tujuh ribu orang sempat pulang ke Indonesia, namun pemerintah mengarahkan mereka ke Tongar, Sumatra Barat, karena Jawa sudah padat. Buruknya fasilitas hidup yang disediakan pemerintah di daerah tersebut membuat sebagian orang Jawa Suriname itu memilih kembali ke Suriname.
Akan tetapi, orang Jawa Suriname tidak ingin berulangnya sejarah seperti yang terjadi pada nenek moyang mereka. Orang Jawa Suriname tidak ingin pulang ke Indonesia, tapi bukan di Jawa. Maka itu, mereka pun pergi lagi ke Suriname yang masih dianggap sebagai tanah Jawa.