MENJALANI profesi sebagai jurnalis perempuan Muslim di Amerika Serikat (AS), memiliki tantangan tersendiri. Tantangan itu semakin besar karena Islamofobia yang berkembang di Negeri Paman Sam. Terlebih, sejak peristiwa 11 September 2001.
Hal itu dirasakan Sabrina Siddiqui. Menjadi seorang wartawan, sudah jadi cita-citanya sejak remaja. Tepatnya, ketika ia berusia 13 tahun. Kala itu, dia merasa media adalah salah satu tempat terbaiknya untuk bisa bercerita.
Namun, ketika dia memulainya, segalanya tak berjalan begitu mulus. Dia mendapati, tak ada yang sama dengannya. Mulai dari penampilan fisik, hingga namanya yang asing bagi masyarakat AS pada umumnya. Dia merasa benar-benar seperti minoritas. Itu terus Siddiqui rasakan hingga dia terus tumbuh sebagai seorang wartawan senior.
Baca Juga:Ombudsman Ungkap Kronologi Kebakaran Kilang Minyak BalonganBuntut Kilang Balongan, 2000 Unit Tangki Diaudit
Saat ini, sudah sekitar 20 tahun sejak Siddiqui pertama kali memutuskan untuk menjadi seorang wartawan. Dan 10 tahun terakhir, bisa dibilang dia cukup beruntung menyaksikan suksesi kepemimpinan di AS dari dekat. Di media tempatnya bekerja, dia ditugaskan meliput di Gedung Putih, Washington DC.
“Saya merasakan meliput tiga presiden berbeda. Barack Obama, Donald Trump, dan Joe Biden,” ucap Siddiqui, dalam webinar bertajuk “Ramadan and Female Muslim Journalists in U.S Newsroom”, yang diselenggarakan Pusat Kebudayaan AS di Jakarta @america, Selasa malam (20//4).
Selain di Gedung Putih, dia juga meliput segala kegiatan yang berhubungan dengan Parlemen AS. Sampai saat ini, Siddiqui masih menjadi salah satu dari sedikit Muslim menjadi wartawan yang menggarap isu politik. Tapi baginya, itu bukanlah sebuah kebanggaan. Apalagi kehormatan.
Baginya, itu malah seperti sebuah kekurangan. Khususnya bagi para wartawan Muslim yang seharusnya bisa lebih banyak lagi menulis berita mengenai politik di AS.
Karena menurutnya, politik memiliki dampak yang cukup luas untuk persepsi publik. Bagaimana akhirnya orang memilih atau memutuskan. Dan bagaimana melihat perkembangan masyarakat di suatu negara. “Kekurangan itu menurut saya bukan suatu hal yang baru. Itu adalah tantangan yang harus kami hadapi sebagai wartawan di AS,” ujarnya.
Apalagi setelah peristiwa 11 September 2001. Ketika Islamofobia di AS berkembang begitu luas. Kebijakan-kebijakan terhadap negara-negara atau umat Muslim, selalu diangkat dalam setiap pemilihan Presiden AS.