Dalam laporan LPPOM, bahan aktif vaksin adalah rekombinan adenovirus. Yakni monovalen vaksin yang terdiri dari satu rekombinan vektor ‘replication-deficient chimpanzee adenovirus (ChAdOx1)’, yang menjadikan kode untuk glikoprotein S dari Sars-Cov-2, disebut juga ChAdOx1-S (recombinant).
Laporan itu juga menyebutkan, saat pembuatan, dalam penyiapan inang virus, sel inang yang digunakan berasal dari diploid manusia. Persisnya sel yang diambil dari jaringan ginjal bayi manusia puluhan tahun lalu. Sel tersebut ditumbuhkan pada media Fetal Bovine Serum, yang disuplementasi dengan asam amino, sumber karbon, bahan tambahan lain serta antibiotik.
“Pada tahap penyiapan inang virus ini terdapat penggunaan bahan dari babi berupa tripsin yang berasal dari pankreas babi. Bahan ini digunakan untuk memisahkan sel inang dari microcarrier-nya,” ujar LPPOM dalam penjelasan yang tertera dalam keputusan Fatwa MUI.
Baca Juga:Perusahaan Biofarmasi AstraZeneca Nyatakan Vaksinnya Tidak Mengandung Turunan BabiBio Farma Pastikan Kualitas AstraZeneca Tetap Terjaga Selama Distribusi
Meski telah menyatakan bahwa vaksin Covid-19 buatan AstraZeneca haram, namun MUI pada akhirnya tetap menyatakan bahwa vaksin tersebut dapat digunakan. Asrorun Niam mengatakan ada lima pertimbangan utama MUI memutuskan hal ini.
Pertama, adalah adanya kondisi kebutuhan yang mendesak atau hajjah asy’ariyah dalam fiqih, yang menduduki kedudukan darurat syari.
Alasan kedua, adalah adanya keterangan dari ahli yang kompeten dan terpercaya tentang adanya bahaya atau resiko fatal jika tak segera dilakukan vaksinasi Covid-19.
Sebelum memutuskan fatwa ini, MUI memang diketahui telah mengundang Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), produsen AstraZeneca, hingga pihak Bio Farma untuk mendapat masukan.
“Ketiga, ketersediaan vaksin Covid-19 yang halal dan suci, tak mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi Covid-19 guna ikhtiar mewujudkan kekebalan kelompok atau herd immunity,” kata Asrorun.
Alasan keempat, adalah adanya jaminan keamanan penggunaanya untuk pemerintah sesuai dengan penggunaannya. Terkait keamanan ini, dibahas oleh BPOM dalam rapat komisi fatwa sebelumnya.
Asrorun mengatakan alasan kelima, adalah pemerintah yang tak memiliki keleluasaan memilih jenis vaksin. “Mengingat keterbatasan vaksin yang tersedia baik di Indonesia maupun di tingkat global,” kata Asrorun. Karena itu, Asrorun mengatakan kebolehan penggunaan AstraZeneca tak akan berlaku lagi, jika lima alasan itu hilang.