BERITA-Ketua DPD Partai Demokrat Banten Iti Octavia Jayabaya mengatakan soal santet kepada KSP Moeldoko hanya berupa ancaman. Bupati Lebak ini mengaku tak akan melakukan santet tersebut.
Ketua DPD Demokrat Banten Iti Octavia Jayabaya menjelaskan ucapannya soal masalah santet kepada Moeldoko, hanya merupakan bentuk luapan emosinya menanggapi kudeta yang dilakukan Moeldoko kepada Ketum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
“Omongan santet merupakan puncak kekesalan kita DPD Demokrat Banten. Itu hanya bentuk ancaman kita. Tapi tidak ada niatan kita melakukan hal tersebut,” tegas Iti Octavia Jayabaya, dikutip berita.radarcirebon.com, Selasa (8/3).
Baca Juga:Ukuran Sangat Besar Leher Panjang Mirip Ayam Hampir Punah, ‘Terkurung’ di PendopoPihak Nadya Arifta Tanggapi Dugaan Sindiran Ibunda dari Felicia Tissue
“Kita merasa kesal dan emosi, karena kudeta KLB Demokrat yang dilakukan oleh Moeldoko,” kata Iti lagi.
Sebelumnya, Ketua DPD Partai Demokrat Banten Iti Octavia Jayabaya mengatakan siap mengirim santet Banten kepada KSP Moeldoko yang terlibat gerakan kudeta terhadap Ketum AHY.
Soal santet Banten untuk Moeldoko ini disampaikan Iti Octavia Jayabaya di kantor DPP Demokrat, Jakarta, Minggu (7/3) saat rapat semua Ketua DPD Demokrat dengan Ketum AHY.
“Saya Iti Octavia Jayabaya, ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Banten beserta ketua DPC dan seluruh anggota DPRD di mana saya diberikan amanah dan pemilik suara yang sah sebagai ketua DPD,” katanya.
“Kami menolak KLB ilegal dan Banten tidak gentar, kami tetap setia dengan ketum kami yang ganteng. Bapak Agus Harimurti Yudhoyono,” ucap Iti Octavia Jayabaya.
Apa itu santet Banten ?
Di Indonesia, santet atau teluh, sihir, tenung, dan hal-hal yang dipandang bersumber dari dunia lain (otherworldly power) sudah lama dikenal. Hampir setiap daerah memiliki tradisi mengirimkan energi negatif jarak jauh dengan maksud mencelakai orang lain. Dan Banten dianggap sebagai pusatnya.
Menurut sejarawan Edi S. Ekadjati, sebagaimana dikutip A. Masruri dalam The Secret of Santet, ilmu teluh atau santet adalah warisan masa lalu yang terus bertahan dalam masyarakat Sunda hingga kini. Edi merujuk naskah lontar yang ditulis pada abad ke-6, Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Naskah ini menyebut teluh adalah perasaan sakit hati, murung, dan tidak senang yang dialihkan kepada orang lain.