Ternyata ketika momentumnya tiba, saat hasil audit forensik KordaMentha, yang antara lain berisi peran dan keterlibatan mafia minyak dalam impor minyak/BBM melalui Petral akan dilaporkan ke KPK, laporan justru tertahan karena tidak disetujui Presiden Jokowi. Menteri ESDM Sudirman Said mengungkap Presiden Jokowi lah yang memintanya menunda melaporkan hasil audit Petral oleh KordaMentha kepada KPK (16/2/2019). “Malam itu saya dapat pesan Presiden lewat seseorang, laporan Petral ke KPK ditunda dulu,” kata Sudirman di Jakarta, 16/2/2019. Ternyata laporan ditunda hingga sekarang atau malah sudah dikubur!
Lima penyebab yang potensial membuat Pertamina merugi Rp 40 triliun di atas secara terang benderang menunjukkan besarnya pengaruh dan peran pemerintah dalam mengelola Pertamina dan bisnis migas nasional. Prinsipnya, pengelolaan tersebut tidak sesuai prinsip good corporate governance dan patut diduga bernuansa moral hazard, serta terkesan “ugal-ugalan” atau “semau gue”.
Sedikit melihat ke belakang, menjelang Pilpres 2019, Pertamina telah menjadi sapi perah dan korban intervensi kebijakan “ugal-ugalan”, sehingga harus menanggung beban subsidi BBM sekitar Rp 96 triliun (akumulasi 2017-2019). Beban subsidi ini mestinya ditanggung APBN. Namun karena pembayaran melalui APBN tidak lancar, beban subsidi tersebut telah membuat keuangan Pertamina nyaris mengalami gagal bayar (default).
Baca Juga:Lama Tak Dihuni, Gedung Asrama Universitas Sumatera Utara TerbakarRiwayat Batu Tegak Berbentuk Zakar di Tanah Datar
Dalam kondisi APBN yang semakin bermasalah akibat pandemi Covid-19, piutang Pertamina ke pemerintah pun tak kunjung diselesaikan pemerintah. Untuk “membantu” keuangan Pertamina, pemerintah “membiarkan” Pertamina tidak menurunkan harga BBM saat harga minyak dunia turun. Harga terendah sempat menyentuh angka US$ 20 per barel pada Maret 2020. Padahal sesuai formula harga BBM yang sudah berlaku bertahun-tahun, harga BBM harus turun saat harga minyak dunia turun. Kondisi harga BBM yang turun ini pun terjadi di seluruh dunia.
Kebijakan pemerintah tidak menurunkan harga BBM sesuai peraturan dan formula harga yang diterbitkan sendiri oleh pemerintah jelas merupakan pelangggaran hukum yang serius. Akibatnya, konsumen BBM di Indonesia diperkirakan membayar lebih mahal dari yang seharusnya, yang jumlahnya sekitar Rp 40 triliun untuk periode April hingga Desember 2020. Ringkasnya, akibat kebijakan “semau gue” yang sarat kepentingan politik pencitraan Pilpres 2019, Pertamina dirugikan puluhan triliun, dan ujungnya konsumen BBM lah yang menjadi korban: harus menanggung kerugian sekitar Rp 40 triliun akibat harga BBM yang lebih mahal.