Kedua, sejak dibubarkannya Direktorat Gas Pertamina yang biasanya menangani bisnis gas/LNG, pucuk pimpinan Pertamina bisa saja tidak aware atau tidak care dengan keberdaan bisnis tersebut. Padahal bisnis gas dan LNG ini bukan hanya bisnis Pertamina tetapi juga bisnis yang menguntungkan Indonesia. Bisa saja kealpaan manajemen Pertamina ini akibat kelupaan, ketidakpedulian atau kesengajaan. Apa pun itu, akibat buruknya adalah Pertamina sangat berpotensi merugi Rp 40 triliun! Dalam hal ini, Pertamina dan pemerintah yang telah membubarkan Direktorat Gas layak pula harus bertanggungjawab.
Ketiga, untuk mencegah turunnya harga saham atau bangkrutnya PGN, pada 2018-2019 pemerintah telah membuat kebijakan mengalihkan sebagian besar bisnis gas dan LNG Pertamina ke PGN dan memaksa Pertamina menjual saham Pertagas ke PGN (pola inbreng). Lalu Direktorat Gas Pertamina dibubarkan. Pada akhirnya tidak semua bisnis gas, apalagi bisnis LNG yang sarat reputasi dan modal, dapat dialihkan dan mampu dikelola PGN dengan baik. Akibatnya sampai saat ini sejumlah bisnis gas/LNG yang dirintis dan dikelola Pertamina menjadi terbengkalai, termasuk LNG dari Mozambik.
Kebijakan pemerintah mengalihkan bisnis gas dan LNG Pertamina ke PGN, yang lebih mengutamakan pemegang saham asing dan publik di PGN ini diduga bernuansa moral hazard, dan patut diusut tuntas secara hukum. Yang jelas, akibat kebijakan ini sangat potensial membuat Pertamina harus membayar denda sekitar Rp 40 triliun dalam kontrak LNG Mozambik.
Baca Juga:Lama Tak Dihuni, Gedung Asrama Universitas Sumatera Utara TerbakarRiwayat Batu Tegak Berbentuk Zakar di Tanah Datar
Keempat, manajemen Pertamina dan pemerintah melalui komisaris Pertamina tak kunjung mengeluarkan kebijakan dan membuat keputusan atas permasalahan LNG Mozambik yang terlanjur dibeli Pertamina. Padahal LNG tersebut belum dapat segera digunakan karena keterlambatan pembangunan kilang RDMP/GRR. Dalam hal ini, rakyat pantas menuntut pertanggungjawaban pemerintah yang gagal membuat keputusan, termasuk Komut Pertamina yang sebenarnya tidak layak secara legal menjadi Komut, terutama karena diduga terlibat berbagai kasus korupsi.
Kelima, tertundanya proyek RDMP dan rencana pembangunan kilang-kilang BBM baru tahun-tahun sebelumnya tak lepas dari peran mafia minyak yang ditengarai terus menghambat pembangunan dan revitalisasi kilang-kilang Pertamina, agar dapat terus menikmati rente impor BBM/minyak. Dalam hal ini, keterlambatan dan hambatan atas proyek RDMP pantas pula dipertanyakan kepada pemerintah, termasuk kepada Presiden Jokowi, yang pada Juli 2014 pernah berjanji akan memberantas mafia minyak.