Apakah gas yang diproduksi Pertamina tidak cukup? Tampaknya memang demikian. Sebab, support dari kepemilikan gas dan LNG diperlukan karena produksi natural gas yang dihasilkan anak perusahaan Pertamina tidak secara otomatis seluruhnya menjadi milik Pertamina, tetapi harus melalui pengajuan alokasi terlebih dahulu kepada pemerintah/KESDM.
Jika ditelisik lebih lanjut, volume LNG Mozambik yang akan diimpor terutama ditetapkan setelah mempertimbangkan kebutuhan Pertamina menggunakan gas untuk mengoperasikan kilang BBM dalam proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Proyek Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Jawa-1 berkapasitas 1.760 MW, di Cilamaya, Jawa Barat. Kedua proyek besar tersebut akan membutuhkan gas cukup besar dan tidak dapat dipenuhi supply gas domestik. Kebutuhan ini pun ditetapkan setelah mempertimbangkan harga LNG Mozambik yang murah dan hasil kajian konsultan yang disewa pemerintah/Pertamina.
Hal lain yang perlu dicatat, pengadaan LNG sebagai bahan bakar pengganti BBM maupun pengganti bahan baku gas, merupakan salah satu syarat dari pemerintah bagi Pertamina untuk mendapatkan persetujuan investasi proyek baik untuk mengikuti tender PLTGU Jawa-1, maupun rencana pembangunan proyek RDMP yang merupakan proyek yang dipantau Presiden. Persyaratan ini dapat diartikan demikian: silakan terlibat proyek PLTGU Jawa-1 dan RDMP, asal Pertamina mau impor LNG Mazambik. Dalam hal ini mafia dan oligarki pemburu rente bisa saja terlibat.
Baca Juga:Lama Tak Dihuni, Gedung Asrama Universitas Sumatera Utara TerbakarRiwayat Batu Tegak Berbentuk Zakar di Tanah Datar
Presiden Jokowi sendiri telah menetapkan proyek RDMP Pertamina sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PEN) sesuai Perpres No.109/2020. Pada situs Komite Percepatan Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), RDMP disebut sebagai proyek revitalisasi kilang-kilang BBM Pertamina di Cilacap, Balongan, Dumai dan Balikpapan. RDMP dijalankan bersamaan dengan proyek kilang baru, Grass Root Refinery (GRR) di Tuban. Menurut KPPIP nilai investasi proyek RDMP/GRR sekitar Rp 246 triliun.
Kembali kepada gugatan Mozambik sebesar Rp 40 triliun, tuntutan tersebut sangat potensial menjadi tanggungan Pertamina. Karena itu perlu diidentifikasi penyebab dan siapa penanggungjawabnya. Pertama, karena Pertamina memang tidak meresponse balik atau mengkonfirmasi rencana pembelian kepada pihak penjual, maka Pertamina wajar harus bertanggungjawab. Padahal response tersebut merupakan tahapan dan syarat yang harus dilalui dalam kontrak perjanjian jual beli gas/LNG. Tahapan ini merupakan hal yang rutin dilakukan oleh Direktorat Gas Pertamina sebelum dibubarkan dan Pertagas diakuisisi PGN pada 2018.