SAYA kehilangan sahabat baik. Wartawan senior sekaligus teman diskusi. Mas Suparno Wonokromo hari ini meninggal dunia setelah menjalani perawatan kanker pankreas selama tiga Minggu di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta.
Mas Parno jurnalis hebat. Ia yang menurut saya mewarisi sebagian besar ilmu jurnalistik dan bisnis media Pak Dahlan Iskan.
Di bawah kepemimpinannya, Sumatera Ekspres di Palembang menjadi koran terbesar di Sumatera. Dari Sumatera Ekspres lahir lebih dari 150 koran lokal, lebih dari 30 perusahaan percetakan, serta 15 stasiun Tv lokal.
Baca Juga:Koalisi LSM Temukan Kejanggalan atas Insiden Penembakan 6 Laskar FPIBawaslu Ungkap Ada 43 TPS Berpotensi Pemungutan Suara Ulang
Ekspansinya tidak hanya di Sumatera, tetapi juga merangsek jauh hingga ke Jawa Tengah. Sebut saja koran-koran kelas Kabupaten di Jawa Tengah. Media tersebut menginduk ke Sumeks.
Bila tidak ada pandemi Covid-19, tahun ini harusnya Grup Sumeks menyerbu Jawa Timur untuk bertempur melawan Jawa Pos group. Grup media yang dulu membesarkannya.
Sumatera Ekspres dulu memang pernah menjadi sister company Jawa Pos Group. Rapat evaluasinya bareng-bareng. Tetapi beda kelompok.
Pada periode 1993-1999 saya memimpin koran lokal Mercusuar di Palu, Sulawesi Tengah. Pak Suparno memimpin Semarak, Bengkulu, sebelum berganti nama menjadi Rakyat Bengkulu.
Di Jawa Pos, Mercusuar masuk kelompok C, artinya koran kecil dengan laba di bawah Rp 5 miliar setahun. Semarak juga satu kelompok dengan Mercusuar. Kami pun menginap di kamar yang sama.
Suatu ketika, ada koran di Palembang yang menyerah. Pemiliknya minta bantuan Pak Dahlan. Namanya Sumatera Ekspres. Koran ini kalah bersaing dengan Sriwijaya Post yang bernaung di bawah Kelompok Kompas Gramedia.
Pak Darul Farokhi yang memimpin koran Cendrawasih Post di Jayapura berinisiatif mengambilalih manajemen Sumeks. Meski Sriwijaya Post begitu kuat, Sumeks berhasil bangkit kembali.
Baca Juga:Ilmuwan Temukan Pelaku Mutilasi Memiliki Kombinasi Masalah Kesehatan MentalMiliter AS Bantah Kajian Baru tentang Korban Sipil Afghanistan
Setelah lewat masa krisis, Pak Darul kembali ke Papua. Pak Parno yang menggantikan. Sebagai pimpinan koran yang jaraknya paling dekat dengan Palembang.
Tiba-tiba Pak Parno mendapat durian runtuh. Koran Sriwijaya Post di Palembang mendadak tidak terbit. Ada konflik manajemen di sana.
Koran Sumeks yang dulu dijuluki koran ‘sak becak’ karena oplahnya cukup diangkut dengan becak, berubah menjadi koran ‘sak kontainer’. Dari ribuan eksemplar menjadi puluhan ribu eksemplar. Semua pelanggan Sriwijaya Post praktis beralih ke Sumeks.