Momentum yang menjadi ajang unjuk kekuatan pertama FPI terjadi pada pertengahan Desember 1999. Saat itu, ribuan anggota FPI datang menggeruduk Balai Kota DKI Jakarta untuk menemui Gubernur Sutiyoso. Tuntutan mereka tegas: Sutiyoso harus menutup semua tempat “maksiat” seperti kelab malam, panti pijat, bar, dan diskotek, selama bulan puasa.
Peristiwa penggrudukan FPI sukses membuat Sutiyoso meninjau ulang kebijakan jam operasi tempat-tempat “maksiat” tersebut. Dalam aksi ini, kelompok pimpinan Rizieq telah resmi memanggul nama FPI, lengkap dengan atribut jubah putih, menggunakan ikat kepala atau sorban putih, berselempang kain hijau, dan beberapa di antaranya membawa pentungan atau kayu. Sebuah citra yang hingga saat ini melekat kuat dalam benak masyarakat.
FPI kerapkali dituding sebagai kelompok yang mendapatkan perlindungan politik dari beberapa tokoh terkemuka atau bahkan dari aparat keamanan. Kecurigaan ini seringkali muncul karena FPI seakan-akan kebal dari hukum atas aksi-aksi main hakim sendiri yang pernah mereka lakukan.
Baca Juga:Mantan Waka BIN: Penguntitan sampai Berujung pada Aksi Kekerasan Apalagi Pembunuhan, Berarti Ada Misi LainPropam Awasi Personel, Mabes Polri Ambil Alih Kasus Penembakan 6 Pengawal Habib Rizieq Shihab
Terkait hal ini, Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean dalam Politik Syari’at Islam: Dari Indonesia ke Nigeria (2004) mencatat FPI dinilai dekat dengan orang-orang di sekitar Soeharto, khususnya Prabowo Subianto yang merupakan menantunya sekaligus seorang perwira tinggi militer pada tahun 1998. Setelah Prabowo diberhentikan dari TNI terkait penculikan aktivis, FPI mengalihkan dukungannya kepada Jenderal Wiranto.
Dukungan FPI terhadap Wiranto terlihat dalam aksi ratusan milisi FPI ketika menyatroni kantor Komnas HAM untuk memprotes pemeriksaan terhadap Jenderal Wiranto dalam kasus Mei 1998. Sementara kedekatan dengan ABRI/TNI terlihat dalam aksi demonstrasi tandingan yang dilakukan FPI melawan mahasiswa penentang RUU Keadaan Darurat/RUU PKB yang diajukan Mabes TNI kepada DPR pada tanggal 24 Oktober 1999.
Beberapa tokoh yang diduga turut memberikan dukungannya terhadap FPI adalah Kapolda Metro Jaya tahun 1998-1999 Mayjen (Pol) Nugroho Djayoesman dan Pangdam Jaya (selanjutnya diangkat menjadi Pangkostrad) Mayjen TNI Djaja Suparman. Riset ISAI mencatat FPI sempat mendatangi Polda Metro Jaya untuk meminta aparat Polda tidak ragu memberantas narkoba.
FPI juga kerap mengadakan pertemuan informal dengan para petinggi militer, seperti yang pernah dilakukan dengan Mayjen Djaja Suparman di Hotel Milenium Jakarta, menjelang pelaksanaan Sidang Umum MPR 1999. Para petinggi militer dan kepolisian, khususnya di tingkat Daerah Khusus Ibukota Jakarta, beberapa kali menghadiri apel siaga yang dilakukan FPI maupun ormas-ormas lain yang menyandang nama “PAM Swakarsa”.