Firli menjelaskan, Matheus dan Adi Wahyono selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) Kemsos pada Mei sampai dengan November 2020 membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan yang diantaranya Ardian I.M, Harry Sidabuke dan juga PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) yang diduga milik Matheus.
“Penunjukkan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui JPB dan disetujui oleh AW,” ujar Firli.
Firli menyebut, pada pelaksanaan paket Bansos sembako periode pertama, diduga telah menerima fee sebesar Rp 12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus kepada Juliari melalui Adi Wahyono dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar.
Baca Juga:Menteri Sosial Juliari Batubara Diduga Terima Fee Rp 10.000 Per Paket Sembako dari Nilai Rp 300.000 per Paket BansosSiapa Juliari Batubara, Diduga Terima Suap Pertama Rp8,2 Miliar Tunai dari Dana Bansos Covid-19 Jabodetabek
“Pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola oleh EK (Eko) dan SN (Shelvy N) selaku orang kepercayaan JPB, untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi JPB,” beber Firli.
Untuk periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, kata Firli, terkumpul fee dari Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sekitar Rp 8,8 miliar. “Yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan JPB,” ungkap Firli.
Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, Matheus dan Adi Wahyono disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Juliari disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara Ardian I.M dan Harry Sidabuke yang ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (*)