Sekalipun ada ikatan yang dapat mempersatukan keduanya, namun keduanya tak diperkenankan melanggar garis pemisah yang resmi yang hierarki sosial tersebut. “..yang berdasarkan kelahiran, atau pangkat dan jelas terlihat dalam banyak peraturan yang menentukan tatacara pemakaian busana, penggunaan bahasa, penggunaan warna, dan cara penghormatan,” tulis halaman 23.
Lantas, hanya takdir dan garis keturunan yang menentukan posisi seseorang ditempatkan pada posisi sebagai kawula maupun gusti. Atas dasar itu, posisi kawula selalu ditempatkan lebih rendah di mata gusti.
Idealnya raja bagi orang Jawa tak terlepas dari kepercayaan yang menempat kedudukan empunya kuasa sebagai perantara utama yang menghubungkan mikrokosmos manusia dengan makrokosmos dewa. Dalam artian, bila ada yang berani menentang raja, nasib malang akan menimpa mereka. Apalagi, raja sering kali disebut sebagai warana –utusan– tuhan.
Baca Juga:Dari Buku ke BukuKetika Eksistensi Vatikan Diragukan?
Yang mana Raja dipahami sebagai perantara tunggal manusia dan tuhan. Perwujudan itulah yang membuat setiap keputusan raja tak bisa ditentang, sebab tiap keputusannya disinyalir sebagai kehendak tuhan, dan tindakannya adalah penyelenggaraan tuhan.
“Jadi, raja ditempatkan pada tampuk tata masyarakat, jauh di atas jangkauan orang biasa. Sudut padang ini pada suatu waktu menimbulkan gagasan tentang raja sebagai kekuasaan politik yang tidak aktif, sebagai ratu panandita (raja pendeta) yang darinya memancarkan pengaruh-pengaruh yang dermawan, yang meresapi seluruh kerajaannya,” ungkap Halaman 52.
Cara terbaik untuk menelusuri tanda-tanda kebesaran suatu raja Jawa tak lain berasal dari silsilahnya. Lewat silsilah seseorang, masyarakat jawa dapat mengetahui kekuatan terbesar raja-rajanya. Semakin banyak tokoh-tokoh besar, nyata atau legendaris, makin besar pula martabat raja.
“Pikiran orang Jawa berusaha menyatukan dua kebudayaan yang berbeda dari agama Hindu dan Islam untuk menegakkan kesinambungan yang dikehendaki; karena itu raja-raja Mataram diberikan silsilah ganda, sejarah pangiwa (kiri) dan sejarah panengen (sejarah kanan),” hadir di halaman 90.
Sama seperti sebuah negara yang dihidupi oleh pajak, kerajaan di Jawa pun begitu halnya. Pungutan pajak zaman dulu malah seakan tiada henti mengganggu pikiran rakyat. Karena itu, gambaran petani telat membayar pajak merupakan hal yang lumrah. Belum lagi pajak yang dipungit tidaklah sedikit.