Sebagai pembuka, P. Swantoro memulai cerita dengan buku yang dulu pernah mengisi hidupnya sewaktu kecil. Kala itu, penulis tertarik dengan salah satu buku berbahasa Belanda yang memiliki banyak gambar unik di lemari orang tuanya.
Olehnya yang belum bisa berbahasa Belanda, maka menikmati rangkaian gambar menjadi hobinya sewaktu kecil. Sayangnya, buku tersebut lenyap seiring penjajahan Jepang, yang memang melarang buku-buku berbahasa Belanda.
Kendati demikian, saat sudah dewasa dan mengusai bahasa Belanda, memori akan masa lalu bersama buku itu terus teringat. Puncaknya, lewat bantuan seorang teman yang menjadi kolektor buku tua, penulis pun meminta tolong untuk dicarikan buku itu. selebihnya, penulis mendekripsikan bagaimana tampilan buku, karena tak memiliki ingatan akan judul.
Baca Juga:Ketika Eksistensi Vatikan Diragukan?Awal Karakter Sejarah Film, Hari Ini Film Frankenstein Dirilis,
Alhasil, bak durian runtuh, buku rekaan orang Belanda G.F.E. Gonggryp dan lima orang lainnya berjudul Geïllustreerde encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (1934), akhirnya didapat. Kelak, penulis langsung melahap habis isi buku. Nyatanya, buku setebal 1.584 halaman berisikan ensiklopedia terkait pengetahuan umum zaman Kompeni.
Gambar-gambar yang dilihatnya semasa kecil, pun ternyata lambang-lambang dari kota yang berada di Hindia-Belanda (Indonesia) zaman dulu. Uniknya, setiap lambang dari kota-kota seperti Cirebon, Surabaya, dan Batavia (Jakarta), memiliki penjelasan terkait makna filosofis dati tiap kota.
“Menurut G.F.E. Gonggryp dalam karya itu ada tujuh kekuatan yang menentukan sejarah perekonomian Hindia-Belanda. Pertama, keadaan alamnya. Kedua, karakter, bakat, dan ide penduduk pribumi. Ketiga, karakter dan ide-ide bangsa lain. Keempat, kepadatan penduduk dan perubahan-perubahannya. Kelima, pembagian kerja dalam masyarakat. keenam, pembentukan modal. Ketujuh, peristiwa-peristiwa ekonomi nasional,” tulisnya di halaman 10.
Siapa pun yang ingin mempelajari tentang seisi Pulau Jawa sudah pasti akan menjadikan buku rekaan Thomas Stamford Raffles berjudul The History of Java (1817) sebagai referensi wajid. Tak terkecuali empunya buku. Bagi penulis, raffles merupakan sesosok yang penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Hinda-Belanda.
Buktinya, saat menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Raffles menghidupkan kembali lembaga ilmu pengetahuan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Westenshappen yang sempat mati suri di Batavia. Atas dasar itu, ia pun kemudian mendalami sejarah dan budaya Jawa. Hal itulah yang menjadi alasan dirinya dikagumi oleh banyak orang, termasuk Sejarawan kesohor Peter Boomgaard.