Menurut Ustaz Ahmad, referensi yang digunakan Maktab Daimi mulanya berasal dari dua buku. Pertama, buku dari Hadramaut langsung yang dibuat oleh Habib Abdurrahman bin Muhammad Almasyhur pada akhir abad 19.
Kedua buku yang sudah dikembangkan ketua Maktab Daimi yang pertama, Alhabib Ali bin Ja’far Assegaf. Maka pada 1930-1940 dimulailah pendataan para sayyid di seluruh Indonesia. Hasilnya, terkumpul data nasab sebanyak tujuh jilid buku yang dihimpun oleh Alhabib Ali bin Ja’far Assegaf.
Kemudian, buku nasab hasil pendataan Alhabib Ali bin Ja’far Assegaf dipadukan dengan buku nasab dari Hadramaut. Hasilnya jadi 15 jilid buku nasab. Buku itulah yang sekarang menjadi rujukan Maktab Daimi untuk menelusuri nasab seseorang.
Baca Juga:Wahai KPK, Mana Taringmu?Adanya Persaingan, Refly Harun: Kalau Membicarakan DKI dan Pemerintah Pusat Selalu Panas
Menurut Ustadz Ahmad, di dunia ini hanya ada 15 jilid buku yang memuat nasab Nabi Muhammad dari garis keturunan Husein bin Ali bin Abi Thalib. Buku silsilah nasab sebanyak 15 jilid itu kemudian dibagikan ke Surayaba, Pekalongan, dan Palembang karena di sana banyak alawiyin.
Kerapian pencatatan nasab itu bahkan diakui empat tokoh sufi dari Timur Tengah yang sempat berkunjung ke Indonesia tahun lalu. Keempat tokoh tersebut Syaikh Dr. Muhammad Asy Syuhumi, Syaikh Dr. Adnan Al-Afyouni, Dr. Abdul Aziz Al-Kubaithi, serta Syaikh Dr. Riyadh Hasan Bazou, seperti dikutip Okezone menilai Rabithah Alawiyah paling rapi dalam mencatat nasab Nabi Muhammad.
Mereka mengatakan di Indonesia sistem pencatatannya terlembaga dan prosesnya melewati jalur yang cukup ketat untuk diakui sebagai keturunan Nabi Muhammad. “Bisa saya katakan bahwa paling bagusnya, rabithah dari semua rabithah yang mencatat garis keturunan anak cucu Nabi Muhammad yang paling bagus adalah rabithah yang ada di Indonesia,” kata Ketua dewan Penasehat dan Otoritas Keilmuan Federasi Tasawuf Internasional Libya, Syaikh Dr. Muhammad Asy-Syuhumi Al-Idrisi. (*)