Selanjutnya, semasa aktif di Paguyuban Pasundan, Otto juga tercatat sebagai anggota Volksraad, semacam Dewan Perwakilan Rakyat pada masa kolonial Hindia Belanda. Ia menjadi anggota parlemen selama tiga periode, yakni 1931-1934, 1935-1938, dan 1939-1942 (Anshoriy & Tjakrawerdaya, Rekam Jejak Dokter Pejuang & Pelopor Kebangkitan Nasional, 2008).
Suara lantangnya yang kerap melontarkan kritik keras terhadap pemerintah kolonial selama berperan sebagai wakil rakyat semakin menegaskan bahwa julukan Si Jalak Harupat memang pantas disematkan kepada Otto Iskandardinata.
Ketika Indonesia berada di bawah kekuasaan Jepang setelah menyerahnya Belanda pada 1942, Otto Iskandardinata beralih ke bidang jurnalistik dengan memimpin suratkabar Tjahaja. Jurnalistik sebenarnya bukan bidang yang benar-benar baru karena ia sempat terlibat di Sipatahoenan, surat kabar yang diterbitkan Paguyuban Pasoendan. Surat kabar dan medan perjuangan politik, di zaman pergerakan, memang tidak terpisahkan.
Baca Juga:Polisi Ungkap Modus Kepala Cabang Maybank CipulirDiduga Kuras Duit Atlet e-Sport Winda Earl, Kepala Cabang Maybank Cipulir Terancam 20 Tahun Penjara
Otto menjadi salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk tanggal 1 Maret 1945 bersama tokoh-tokoh bangsa lainnya. Ia juga terlibat dalam keanggotaan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai pengganti BPUPKI.
Setelah Indonesia akhirnya memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dan menjadi negara yang memiliki pemerintahan sendiri, Otto menempati posisi sebagai salah satu Menteri Negara pertama, bersama Mohammad Amir, Wahid Hasyim, Mr. Sartono, dan A.A. Maramis. Jabatan ini masih diembannya hingga terjadinya peristiwa tragis di akhir 1945 itu.
Sebagai Menteri Negara, salah satu yang menjadi urusan Otto adalah persoalan keamanan, termasuk mengkoordinir pembentukan tentara kebangsaan yang saat itu masih bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Masalah BKR ini cukup riskan lagi sensitif lantaran melibatkan sejumlah pihak dari latar belakang militer yang berbeda, di antaranya adalah mantan anggota Pembela Tanah Air (PETA) dan Heiho bentukan Jepang, serta bekas prajurit KNIL bentukan Belanda.
Tidak semua pihak setuju dengan upaya penyatuan para mantan tentara itu ke dalam BKR. Mereka yang tidak sepakat kemudian membentuk laskar-laskar sendiri. Mereka cenderung tidak menyukai gaya diplomasi untuk peralihan pemerintahan sepenuhnya dari Jepang—seperti yang diusahakan oleh Otto dan pemerintahan republik—dan memilih bertindak lebih frontal.