HARI itu, penghujung tahun 1952, Tanah Pasundan berselimut awan pekat. Ratusan orang dengan raut duka dan sayu berkumpul menunggu peti jenazah tokoh masyarakat terkemuka dari Kota Kembang: Otto Iskandar Dinata.
Namun, rombongan yang membawa peti itu sebenarnya di dalamnya tidak berisi jenazah, melainkan hanya berisi pasir laut dari kawasan pesisir Mauk, Tangerang, Banten yang diambil putra Otto sebagai “syarat” jenazah sang ayah.
Penyebab dan proses kematiannya pun masih diselubungi teka-teki, bahkan setelah 65 tahun berlalu.
Baca Juga:Polisi Ungkap Modus Kepala Cabang Maybank CipulirDiduga Kuras Duit Atlet e-Sport Winda Earl, Kepala Cabang Maybank Cipulir Terancam 20 Tahun Penjara
Orang kini mengenal Otto Iskandardinata dari sekelumit kisahnya di buku-buku sejarah. Atau sesekali melihat namanya yang disematkan sebagai nama jalan di berbagai daerah atau nama stadion sepakbola yang menjadi markas Persib Bandung. Sebenarnya, Otto punya peran penting dalam perjuangan berdirinya Republik Indonesia. Namun peran itu tak berlanjut karena kematian misterius keburu menjemputnya.
Pada 31 Maret 1897, Raden Otto Iskandardinata (sering dituliskan pula dengan nama Oto Iskandar Di Nata), dilahirkan di Bojongsoang, Bandung. Otto lahir dari keluarga ternama. Ayahnya, Raden Haji Rachmat Adam, adalah seorang kepala desa. Tempat tinggalnya pun merupakan rumah paling besar dan megah se-Bojongsoang.
Bojongsoang kini terletak di wilayah Kabupaten Bandung. Kawasan yang lekat dengan pemberitaan banjir ini berada tidak jauh dari Dayeuhkolot, atau Kota Tua, bekas pusat pemerintahan Bandung sebelum pindah ke kawasan yang sekarang berada di Jl. Asia Afrika.
Selayaknya anak orang berada, Otto mengenyam pendidikan yang baik dan dikenal sebagai salah satu siswa yang paling cerdas sejak sekolah dasar, menengah, hingga sekolah pendidikan guru di Bandung dan Purworejo.
Selain berotak cemerlang, Otto juga dikenal bernyali tinggi, tidak suka berbasa-basi, terutama dalam mengungkapkan pikiran dan isi hatinya. Pernah pada suatu ketika, Otto sengaja menyematkan dasi di pakaian seragamnya, tidak seperti kawan-kawannya yang lain. Tak pelak, ini membuat guru sekolahnya marah.
“Otto!” hardik sang guru yang orang Belanda itu. “Mengapa kamu memakai dasi? Saya saja tidak memakai dasi!”
Yang ditegur menjawab dengan tajam, “Tuan guru tidak perlu memakai dasi, sebab tuan sudah tua.”