JAKARTA-Presiden China Xi Jinping menegaskan, bahwa kedaulatan, keamanan dan kesejahteraan warganya bukan hal yang bisa diganggu dan diutak-atik pihak lain.
Dalam pidatonya di Great Hall, Jumat (23/10), Xi menegaskan tindakan sepihak, monopoli atau bullying kepada China hanya akan berujung dengan akhir buruk.
“Biar dunia tahu, kalau rakyat China sangat teroganisir dan tidak bisa diremehkan,” ujar Xi mengutip ucapan pendiri China, Mao Zedong.
Baca Juga:Pekan Depan Kunjungi Indoensia, Mike Pompeo: Kerja Sama Gagalkan Ancaman Partai Komunis ChinaTetapkan 8 Tersangka Kasus Kebakaran Gedung Utama Kejagung, Polri: 5 Tukang, Mandor, Direktur dan Jaksa
Xi tidak langsung menyebut Amerika Serikat sebagai pihak yang suka ikut campur dalam urusan menyangkut Negeri Tirai Bambu itu. Namun, hubungan kedua negara memang sedang berada di posisi terburuk, akibat berbagai konflik dengan pemerintahan Presiden Donald Trump. Mulai isu perdagangan, masalah Hong Kong, Muslim Xinjiang hingga pandemi virus Corona, menjadi bahan pertikaian dua negara besar di dunia ini.
“Kami membangun kekuatan militer yang kuat. Tanpanya, negara kami tidak kokoh,” tegas Xi yang hadir untuk merayakan 70 tahun penugasan pasukan di Semenanjung Korea untuk membantu Korea Utara melawan pasukan dari AS yang membantu Korsel pada perang 1950-1953.
Pertikaian kedua negara sebenarnya sudah dimulai sejak Perang Korea. Pasalnya, pasukan China melawan pasukan AS, yang membantu pasukan Korsel. Pada Oktober 1950, pasukan China melintasi Sungai Yalu di perbatasan Korut selagi pasukan Uni Soviet membantu dari udara. Lebih dari 2 juta pasukan ditugaskan ke medan perang saat itu.
“Usai pertarungan sengit, pasukan China dan Korea, dipersenjatai dengan segala hal terbatas bisa melawan musuh, pasukan AS dan memaksa lawan menyetujui gencatan senjata pada 27 Juli 1953,” ujar Xi.
Mengenai persaingan kekuatan militer China-AS, Negeri Paman Sam baru saja menyetujui penjualan sistem pertahanan senilai 1,8 miliar dollar AS kepada Taiwan. Langkah ini menyulut kritik keras China. Pasalnya, China menganggap AS melangkahi kedaulatan China di Taiwan.
China menganggap Taiwan sebagai provinsinya yang bandel. Karena itu pula, China bertekad mengembalikan Taiwan ke “jalan yang benar”. Namun Amerika, Undang-Undangnya memperbolehkan menyediakan Taiwan sarana untuk mempertahankan diri. (*)