JAKARTA-Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) meminta Polri membebaskan pengurus Komite Eksekutif yakni Anton Permana, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dari tuduhan penyebaran berita bohong yang dikaitkan dengan penerapan UU ITE.Â
Sebab, dalam Undang-undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), banyak mengandung “pasal-pasal karet” dan patut dinilai hal tersebut bertentangan dengan semangat demokrasi dan konstitusi yang memberikan kebebasan berbicara dan berpendapat bagi rakyat atau hak warga negara.
Hal tersebut disampaikan Presidium KAMI yang terdiri Gatot Nurmantiyo, Rochmat Wahab, dan Din Syamsuddin dalam rangka merespon penangkapan jejaring KAMI Medan.
Baca Juga:Diduga Bawa Logistik dan Batu, Polisi Amankan 1 Ambulans yang Kabur dari Petugas Saat Aksi UnrasKronologi Penangkapan Pejabat KAMI
Menurutnya, tidak ada keadilan yang dilakukan Polri dalam memproses hukum para pelaku yang diduga melanggar pasal UU ITE karena pernyataan di media sosial.
“Kalaupun UU ITE tersebut mau diterapkan, Polri harus berkeadilan yaitu tidak hanya membidik tokoh KAMI saja. Sementara banyak pihak di media sosial yang mengumbar ujian kebencian yang berdimensi SARA tapi Polri berdiam diri,” demikian yang disampaikan Presidium KAMI dalam keterangan tertulisnya, Rabu (14/10/2020).
Selain itu, dikatakan Presidium KAMI, pernyataan atau keterangan pers yang disampaikan Mabes Polri oleh Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono tentang penangkapan pengurus komite eksekutif selamanya beberapa hari di Jakarta, Depok dan Tangerang Selatan. KAMI menilai mengandung nuansa pembentukan opini (framing) ke publik.
Kemudian melakukan generalisasi dengan penisbatan kelembagaan yang bersifat tendensius. “Dan bersifat prematur yaitu mengungkapkan kesimpulan dari proses pemeriksaan yang masih berlangsung,” ucapnya.
Bahkan dikatakan Presidium KAMI, Mabes Polri tidak menunjukan dan menegakkan prinsip asas praduga tak bersalah dengan menyebutkan nama identitas seseorang sebelum dinyatakan tersangka, karena statusnya masih terperiksa.
“Termasuk membuka nama dan identitas seseorang yang ditangkap, menunjukkan bahwa Polri tidak menegakkan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), yang seyogyanya harus diindahkan oleh lembaga penegak hukum seperti Polri,” tuturnya.