AWAL September 2020, The Washington Post menerbitkan editorial tentang Abraham Accords. Perjanjian untuk menormalkan hubungan antara Israel dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain itu dipahami dengan sinisme terhadap para protagonis, kampanye pemilihan, otoritarianisme yang mengakar dalam, melibatkan Amerika Serikat dalam konflik sektarian di kawasan tersebut, dan pengkhianatan terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina. Agar adil, para penulis editorial mengakui kesepakatan normalisasi itu, dengan tegas menolak istilah “perjanjian damai”, secara paling sempit adalah positif, tetapi bagaimanapun juga menegaskan itu adalah produk dari pendekatan salah arah Presiden AS Donald Trump atas Timur Tengah. Itu ialah hal yang sulit.
The Washington Post memberikan terlalu banyak pujian atas perjanjian tersebut berkat Gedung Putih, tetapi juga memberikan pujian yang terlalu sedikit kepada konsekuensi kritis Abraham Accords yang hampir tidak dikomentari (di kalangan media arus utama dan komunitas kebijakan luar negeri): normalisasi Yahudi dan Yudaisme dalam masyarakat Arab dan Muslim. Itu merupakan masalah besar.
Steven A. Cook di Foreign Policy mengajukan ssejumlah pendapat untuk menganalisis upaya Uni Emirat Arab untuk mengeksplorasi serta memahami iman Yahudi dan jangkauannya kepada kaum Yahudi dari sudut pandang Cook sebagai seseorang yang paling tepat digambarkan sebagai “Yahudi secara budaya”. Cook merasa kuat tentang identitasnya, tetapi itu bukan fungsi dari kesetiaan pada hukum dan adat Yahudi. Cook tidak sepenuhnya menaati ritual Yahudi sehingga ganya mengeluh saat harus pergi ke sinagoga dan seringkali mengudap camilan dalam perjalanan ke kebaktian Yom Kippur selama puasa tahunan.
Baca Juga:Jokowi: Pelabuhan Patimban, Bandara Kertajati dan Bekapur Saling TerkoneksiRocky Gerung Soroti Pemilihan Wali Kota Solo, Otak Kosong Versus Kotak Kosong
Kontras antara apa yang dilakukan Uni Emirat Arab melalui Abraham Accords dan upayanya yang lebih luas dalam menjangkau agama lain terutama Katolik Roma jauh melampaui norma yang telah biasa dialami Cook sejak dia mulai bepergian dan tinggal di Timur Tengah tiga dekade lalu. Selama berada di Kairo pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, Steven A. Cook dari Foreign Policy terkejut bukan oleh anti-Zionisme yang sesuai dugaan menjadi bagian dari wacana politik, melainkan anti-Semitisme yang menjadi bagian dari wacana budaya.