Dikatakannya, dari dua jenis kuota yang diberikan yaitu kuota umum dan kuota belajar, porsi kuota belajar jauh lebih besar, namun hanya bisa digunakan untuk akses aplikasi dan website khusus yang disediakan Kemendikbud. Sayangnya, untuk bisa mendapatkan materi pembelajaran dari aplikasinya harus bayar langganan.
“Kalau lihat kuota belajar ini diberikan pada aplikasi-aplikasi berbayar, ada ruangguru, sekolah.mu, quipper, zenius, ini kan berbayar semua. Jadi ada kesan pemerintah seperti menggiring orang berlangganan aplikasi ini,” ujarnya.
Dia bahkan menilai, pemerintah seakan menjadi makelar dari pemilik aplikasi-aplikasi belajar itu dan ‘memaksa’ peserta didik berlangganan. Sehingga bantuan kuota internet ini hanya seperti gimik belaka.
Baca Juga:Gunakan Road Bike, Dian Sastrowardoyo Mulai Main SepedaLama Jomblo, Luna Maya Hilang Gairah
Terlebih lagi dengan porsi kuota umum yang sedikit, justru semakin menjadi tidak efektif. Ujung-ujungnya peserta didik malah membeli kuota tambahan sendiri.
“Pemerintah seperti ‘nih pulsanya kita kasih tapi langganan yaa’, jadi seakan pemerintah seperti makelar, calo. Ini tidak etis untuk solusi yang diberikan,” tegasnya.
Pada akhirnya, kebijakan bantuan kuota menjadi tanda tanya besar. Alasannya mengapa penerima manfaat digiring berlangganan aplikasi ini, padahal ekonomi sedang susah pada masa pandemi COVID-19.
“Jadi ada tanda tanya besar kenapa digiring berlangganan aplikasi ini, kehidupan ekonomi susah kok malah digiring,” pungkasnya.(gw/fin)