JAKARTA-Laporan tersebut dipublikasikan pada 30 September, peringatan hari terakhir Pemberontakan.
Laporan ini disertai dengan video pendek dan memberikan detail ekstensif tentang masalah rasisme, impunitas, pembunuhan di luar hukum, kebebasan media, pemblokiran internet, tuduhan makar, penggunaan kekerasan yang berlebihan terhadap pengunjuk rasa, dan penggunaan milisi sipil. Masalah-masalah ini sekarang menjadi subjek penyelidikan Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dikutip greenleft.org, pendahuluan laporan itu mengatakan: “Peristiwa Pemberontakan dengan jelas menunjukkan, pihak berwenang Indonesia berusaha keras untuk membungkam suara-suara ini melalui militerisasi, pengejaran, dan penuntutan para pengunjuk rasa, pembatasan akses ke internet, penindasan terhadap media independen, dan kriminalisasi terhadap aktivis dan pengacara Indonesia, termasuk penulis.”
“Laporan ini menjadi saksi kekuatan rakyat Papua Barat. Ini adalah seruan bagi rakyat Indonesia untuk menghentikan rasisme dan mendukung hak untuk menentukan nasib sendiri rakyat Papua Barat. Ini adalah seruan bagi pemerintah Indonesia untuk mengatasi akar penyebab konflik. Dan ini adalah pengingat bagi komunitas internasional untuk berhenti menutup mata terhadap kerinduan selama puluhan tahun oleh rakyat Papua Barat, akan hak mereka yang sah untuk menentukan nasib sendiri.”
Baca Juga:DPR Sepakat RUU Cipta Kerja Dibawa ke Paripurna, Begini 16 Poin Pernyataan Menko AirlanggaKabar Baik, Tarif Listrik Turun Bagi 7 Golongan ini
Bab pertama menganalisis enam insiden penting untuk memahami apa yang memicu Pemberontakan. Bab kedua menguraikan tindakan keras pemerintah Indonesia. Bab ketiga menganalisis Pemberontakan dari perspektif rasisme dan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh orang Papua Barat. Lampiran terperinci juga diberikan dengan bukti ekstensif yang dikumpulkan di lapangan selama beberapa bulan.
Kutipan berikut dari Bab 1 didasarkan pada catatan saksi mata yang terperinci tentang kekerasan tersebut, dilansir dari greenleft.org:
“Hari paling mematikan dari Pemberontakan, 23 September, ditandai dengan serentetan pembunuhan, cedera, dan penangkapan. Sedikitnya 46 orang tewas dan 148 luka-luka di Wamena dan Jayapura hari itu, yang juga berujung pada pengungsian massal.”
“Saat itu, 21 aktivis sudah ditangkap dan didakwa makar. Banyak protes, terutama yang berada di luar Papua Barat, menuntut pembebasan tahanan politik ini.”
“Tindakan keras oleh polisi di Jayapura hari itu sangat brutal, sehingga dalam salah satu dari banyak video yang tersedia, terdapat lebih dari seratus tembakan dalam waktu kurang dari dua menit, yang semakin menunjukkan tingkat militerisasi yang telah terjadi saat itu.”