Musim panen padi semakin dekat dan persawahan di pelosok desa terpencil Tembuku, Kabupaten Bangli telah berubah menjadi lautan kuning.
Satu-satunya hal yang dapat menggagalkan panen yang melimpah adalah berbagai jenis burung yang suka memakan butiran beras yang menonjol dari sekamnya.
Burung-burung itu tampak tidak lebih dari bintik-bintik kecil yang bergerak melintasi langit biru dan begitu berada di tanah, mereka hampir tidak mungkin terlihat di sawah yang luas.
Baca Juga:Target Migas Timor Leste LumpuhVeronica Koman dan TAPOL Inggris Terbitkan Laporan Pemberontakan Papua Barat 2019
Namun, mata Kadek Suarjana terlatih saat melihat hama itu. Dengan sedikit keraguan, dia menjentikkan tali yang digantung di ladang keluarganya, menyebabkan kantong plastik dan lonceng kaleng darurat yang terpasang pada mereka berderak dan bergoyang. Burung-burung terbang menjauh.
Suarjana (41), pria gempal dengan telinga bertindik, mengira telah meninggalkan kehidupan petani ketika dia pindah ke ibu kota Denpasar, 90 menit berkendara, lebih dari 20 tahun yang lalu.
Dia menjadi sopir sewaan, berpenghasilan Rp8 juta hingga 12 juta sebulan saat menjemput turis di seluruh pulau. Uang itu cukup untuk menyekolahkan kedua anaknya dan membeli minivan sendiri.
Namun, seperti banyak pengemudi lain di Bali, penghasilannya berkurang menjadi nol ketika pandemi melanda dan turis berhenti datang.
“Saya tidak bekerja. Tidak ada uang di bank. Sementara itu, saya harus membayar sewa rumah dan tagihan.”
Suarjana memutuskan untuk kembali ke Tembuku.
“Setidaknya saya tidak perlu khawatir tentang makanan karena di kampung halaman kami memiliki sawah dan tanah pertanian kecil,” pikirnya.
“Pasti ada beberapa pekerjaan yang bisa saya lakukan di sana.”
Namun, ada masalah. Anak remajanya, yang bersekolah di Denpasar, harus belajar dari jarak jauh dan koneksi internet di desanya tidak stabil.
Baca Juga:DPR Sepakat RUU Cipta Kerja Dibawa ke Paripurna, Begini 16 Poin Pernyataan Menko AirlanggaKabar Baik, Tarif Listrik Turun Bagi 7 Golongan ini
Maka ia menjual salah satu sepeda motornya agar istri dan anak-anaknya dapat terus tinggal di rumah kontrakan yang telah mereka tempati selama bertahun-tahun, sementara Suarjana mencari pekerjaan di desanya.
“Selama lima bulan terakhir, saya telah merawat pertanian orang lain dan melakukan pekerjaan konstruksi. Pada dasarnya, pekerjaan serabutan pun bisa saya temukan,” ujarnya.
Suarjana mengaku digaji Rp80.000 sehari sebagai buruh tani dan Rp100.000 sebagai buruh bangunan.