Kita juga tahu, ketika Sukarno berdiri di antara keduanya, dinas intelijen Amerika dan Inggris secara diam-diam gelisah karena konflik antara kedua kelompok itu, dan desas-desus mengenai persekongkolan melimpah di Jakarta.
Para pemimpin Gerakan 30 September mengirim pasukan untuk menculik tujuh atasan Angkatan Darat mereka, yang mereka tuduh merencanakan kudeta sayap kanan. Enam dari perwira senior itu akhirnya tewas, dan Gerakan 30 September digunakan sebagai dalih untuk penumpasan brutal terhadap PKI.
Suharto (seorang jenderal besar yang berumur 44 tahun dari Jawa Tengah) menjabat sebagai kepala Komando Strategis Angkatan Darat, atau KOSTRAD. Suharto pernah belajar di bawah seorang pria bernama Suwarto, seorang teman dekat konsultan RAND Corporation Guy Pauker, dan salah satu perwira Indonesia yang paling bertanggung jawab untuk melaksanakan operasi kontra-pemberontakan yang bersekutu dengan AS.
Baca Juga:Fadli Zon Ungkap Kesalahan Pemahaman Sukmawati Sebut PKI Berideologi PancasilaSukmawati: PKI Tidak Menolak Ideologi Pancasila
Pada pagi hari 1 Oktober, Suharto tiba di KOSTRAD, yang karena alasan tertentu belum ditargetkan atau dilumpuhkan oleh Gerakan 30 September, meskipun duduk tepat di seberang Lapangan Kemerdekaan, yang mereka duduki pagi itu.
Pada pertemuan darurat di pagi hari, dia mengambil alih sebagai komandan Angkatan Bersenjata. Pada sore hari, dia memberi tahu pasukan di Lapangan Kemerdekaan untuk membubarkan dan mengakhiri pemberontakan atau dia akan menyerang. Dia merebut kembali pusat kota Jakarta tanpa melepaskan satu tembakan, dan pergi ke radio sendiri untuk menyatakan Gerakan 30 September telah dikalahkan.
Presiden Sukarno memerintahkan jenderal besar lainnya, Pranoto, untuk menemuinya di Pangkalan Angkatan Udara Halim dan mengambil alih komando sementara Angkatan Bersenjata. Bertentangan dengan perintah langsung dari komandannya, Suharto melarang Pranoto untuk pergi, dan memberi Sukarno perintah: meninggalkan bandara.
Sukarno melakukannya, dan melarikan diri ke istana presiden di luar kota. Suharto kemudian dengan mudah mengambil kendali atas bandara, dan kemudian seluruh negeri.
Setelah memegang komando, Suharto menyiapkan agar semua media dimatikan, kecuali outlet militer yang ia kendalikan. Dia kemudian mengaktifkan semua komunikasi massa, dan menuduh PKI melakukan kejahatan, menggunakan kepalsuan yang disengaja, dan berjuang untuk meningkatkan kebencian terhadap kaum kiri di seluruh negeri.