Seperti sebagian besar penduduk Jawa (dengan pengecualian etnis Tionghoa), ia adalah seorang Muslim, tetapi ia tidak pernah terlalu mendalam mempelajari Alquran. Di sekolah, ia menyukai gamelan, bentuk musik tradisional Jawa, di mana orkestra perkusi kecil memainkan potongan-potongan ansambel meditatif yang berkelok-kelok, yang dapat naik dan turun perlahan selama berjam-jam.
Namun, dia ditarik keluar dari semua itu dengan cukup cepat. Pada usia 13 tahun, dia keluar untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga di dekat rumah. Pada usia 15 tahun, ibunya jatuh sakit, jadi dia kembali ke rumah dan mulai menjual apa yang mereka bisa kepada tetangga mereka untuk sejumlah uang: sepotong kayu, sayuran, makanan yang dimasak, singkong goreng, apa pun yang mereka bisa dapatkan.
Dia belum pernah ke kota besar, tetapi ada kabar lebih mudah untuk mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Bibinya, Le, memiliki beberapa koneksi di ibu kota dan mengatakan kepadanya dia dapat membantu mengatur di sana.
Baca Juga:Fadli Zon Ungkap Kesalahan Pemahaman Sukmawati Sebut PKI Berideologi PancasilaSukmawati: PKI Tidak Menolak Ideologi Pancasila
Jadi, pada usia 16 tahun, ia naik kereta selama satu hari penuh, bergerak perlahan ke barat di atas rel yang pada awalnya diletakkan oleh Belanda seratus tahun sebelumnya, dan tiba di Jakarta, sendirian.
Ketika dia melewati Monumen Nasional (Monas), dia mengagumi kebesarannya, sekitar sepuluh kali lebih tinggi dari bangunan mana pun yang pernah dia lihat.
Mereka benar tentang prospek pekerjaan. Hampir segera, dia mulai bekerja di pabrik T-shirt. Majikan barunya menempatkannya di sebuah rumah kecil bersama yang terhubung dengan kantor perusahaan, dengan semua gadis lain.
Di pagi hari, dia mengenakan seragamnya dan menunggu. Tepat setelah pukul enam, ia dan semua gadis lain masuk ke sebuah truk besar, yang membawa mereka dari rumah kecil mereka di Jatinegara, Jakarta Timur, dan berkendara sepanjang pagi menuju Duren Tiga di Selatan. Mereka bekerja dari pukul 7 pagi hingga 4 sore, dan bayarannya tidak buruk. Para lelaki mencuci kain, dan para wanita memotongnya menjadi bentuk yang tepat. Orang lain, di tempat lain, menggabungkan semuanya.
Kondisinya baik-baik saja, pikir Magdalena. Dia segera mengetahui, ini karena SOBSI, jaringan serikat pekerja yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah mengorganisasi sebagian besar pekerja di negara ini.