Ketika konflik datang, dan ketika peluang muncul, pemerintah AS membantu menyebarkan propaganda yang memungkinkan pembunuhan dan terlibat dalam percakapan terus-menerus dengan Angkatan Darat untuk memastikan para perwira militer memiliki semua yang mereka butuhkan, dari senjata hingga daftar pembunuhan.
Kedutaan AS terus-menerus mendesak militer untuk mengambil posisi yang lebih kuat dan mengambil alih pemerintahan, karena tahu betul metode yang digunakan untuk memungkinkan ini adalah mengumpulkan ratusan ribu orang di seluruh negeri, menikam atau mencekik mereka, dan melemparkan mayat mereka ke sungai.
Para perwira militer Indonesia memahami dengan baik, semakin banyak orang yang mereka bunuh, semakin lemah orang kiri, dan Washington yang lebih bahagia.
Baca Juga:Fadli Zon Ungkap Kesalahan Pemahaman Sukmawati Sebut PKI Berideologi PancasilaSukmawati: PKI Tidak Menolak Ideologi Pancasila
Bukan hanya pejabat pemerintah AS yang menyerahkan daftar untuk dibunuh kepada Angkatan Darat. Manajer perkebunan milik AS memberi mereka nama-nama komunis dan pengurus serikat pekerja yang “bermasalah”, yang kemudian dibunuh.
Tanggung jawab utama untuk pembantaian dan kamp konsentrasi terletak pada militer Indonesia, tulis Vincent Bevins. Kita masih tidak tahu apakah metode yang digunakan (penghilangan dan pemusnahan massal) telah direncanakan jauh sebelum Oktober 1965, mungkin diilhami oleh kasus-kasus lain di seluruh dunia, atau direncanakan di bawah arahan asing, atau apakah itu muncul sebagai solusi ketika peristiwa-peristiwa terjadi. Namun Washington ikut menanggung rasa bersalah untuk setiap kematian.
Amerika Serikat adalah bagian tak terpisahkan dari operasi di setiap tahap, mulai jauh sebelum pembunuhan dimulai, sampai tubuh terakhir turun dan tahanan politik terakhir muncul dari penjara, beberapa dekade kemudian, disiksa, dilukai, dan dibuat bingung.
Di beberapa titik yang kita tahu (dan mungkin beberapa yang tidak kita ketahui) Washington adalah penggerak utama dan memberikan tekanan penting bagi operasi untuk bergerak maju atau berkembang.
Pada akhirnya, para pejabat AS mendapatkan apa yang mereka inginkan. Itu adalah kemenangan besar. Seperti yang dikatakan oleh sejarawan John Roosa, “Hampir dalam semalam pemerintah Indonesia berubah dari suara keras untuk netralitas perang dingin dan anti-imperialisme, menjadi mitra yang tenang dan patuh dari tatanan dunia AS.”