Jenis kerendahan hati semacam ini untuk orang lain adalah kekuatan yang kuat. Masker yang ada di mana-mana mungkin sebenarnya tidak sepenuhnya mencegah infeksi, tetapi berfungsi sebagai pengingat nyata, kita semua saling menjaga satu sama lain. Ketika prosedur sanitasi yang baik tak lagi tentang menyelamatkan kebersihan diri kita sendiri dan mulai mencintai sesama, hal itu tidak hanya menyelamatkan jiwa tetapi juga menghibur jiwa.
Terdapat salah satu elemen yang lebih kontroversial dari etika Kristen sepanjang sejarah wabah: Gereja tidak membatalkan pertemuan. Seluruh motivasi pengorbanan pribadi untuk merawat orang lain dan langkah-langkah lain yang terkait untuk mengurangi infeksi mengandaikan keberadaan komunitas ketika kita semua menjadi pemangku kepentingan. Bahkan ketika kita mengambil komuni dari piring dan gelas yang terpisah untuk meminimalisir risiko, tak lagi berjabat tangan atau berpelukan, dan duduk berjauhan dari satu sama lain, sesama jemaat masih saling berkomunikasi.
Beberapa pengamat akan melihat ini sebagai semacam fanatisme: Orang-orang Kristen sangat terobsesi dengan pergi ke gereja sehingga mereka akan berisiko memicu kemunculan epidemi penyakit.
Baca Juga:Inilah Sumber Senjata OPM?Koordinator Komite Pemilih Indonesia: Lamanya Proses Penetapan Diduga Ada Tarik Ulur Kepentingan Antara KPU dengan Presiden
Namun, kasusnya bukan seperti itu sama sekali. Virus corona baru membuat lebih dari 95 persen korbannya masih dapat bernapas. Meski demikian, hampir setiap anggota masyarakat merasa takut, cemas, terasing, sendirian, dan bertanya-tanya apakah ada yang akan merasa kehilangan jika mereka kelak tiada.
Dalam masyarakat yang semakin individualis, pandemi COVID-19 dapat dengan cepat bermutasi menjadi epidemi keputusasaan. Kehadiran Gereja berfungsi sebagai panggilan sosial, terutama untuk orang lanjut usia: Mereka yang tidak muncul selama kebaktian harus diperiksa keadaannya segera pekan itu. Ketika pekerjaan, sekolah, pertemuan publik, olahraga, perkumpulan hobi, atau bahkan dunia luar sama sekali membatasi pertemuan dan interaksi, kehidupan manusia tak lagi berjalan sebagaimana mestinya. Lyman Stone dari Foreign Policy menyimpulkan, kita membutuhkan dukungan moral dan mental dari masyarakat untuk menjadi orang-orang baik yang kita cita-citakan.
Pilihan orang Kristen untuk mempertahankan pertemuan mingguan di gereja bukan merupakan sebuah takhayul yang mewah. Ini adalah pilihan yang jernih dan rasional untuk menyeimbangkan diri. Kita melupakan kegiatan lain dan bersusah payah untuk menjaga diri sebersih mungkin agar dapat berkumpul secara bermakna dan saling mendukung. Tanpa dukungan moral ini, sebagaimana yang dibuktikan warga Kota Wuhan, China dan mungkin orang-orang Italia saat ini, kehidupan dapat menjadi tak tertahankan. Bahkan orang-orang non-Kristen yang menghindari pergi ke gereja dapat menghargai pentingnya mempertahankan interaksi dengan komunitas yang saling peduli dan mendukung.