Epidemi yang lebih terkenal adalah Wabah Siprianus. Namanya berasal dari seorang uskup yang menyampaikan kisah penuh warna tentang penyakit tersebut dalam khotbah-khotbahnya. Diduga sebagai penyakit yang berhubungan dengan Ebola, Wabah Siprianus membantu memicu Krisis Abad Ketiga di peradaban Romawi. Namun, wabah itu juga memicu ledakan pertumbuhan Kristen.
Khotbah Siprianus memberi tahu orang-orang Kristen untuk tidak berduka bagi para korban wabah (yang telah tinggal di surga), tetapi untuk melipatgandakan upaya dalam merawat yang masih hidup. Rekan uskupnya Dionysius menggambarkan bagaimana orang-orang Kristen, “Tanpa peduli bahaya mengambil alih perawatan orang sakit dan memenuhi setiap kebutuhan mereka.”
Bukan hanya orang-orang Kristen yang mencatat reaksi umat Kristiani terhadap wabah. Satu abad kemudian, Kaisar Julianus yang secara aktif menganut pagan mengeluh dengan sengit tentang bagaimana “orang-orang Galilea” merawat bahkan orang-orang sakit yang bukan Kristen.
Baca Juga:Inilah Sumber Senjata OPM?Koordinator Komite Pemilih Indonesia: Lamanya Proses Penetapan Diduga Ada Tarik Ulur Kepentingan Antara KPU dengan Presiden
Sementara itu, sejarawan gereja Pontianus menceritakan bagaimana orang-orang Kristen memastikan, “Kebaikan telah dilakukan untuk semua orang, tidak hanya di keluarga umat beriman.”
Sosiolog dan ahli demografi agama dari Amerika Serikat Rodney Stark mengklaim, tingkat kematian di kota-kota dengan komunitas Kristen mungkin hanya setengah dari kota-kota lain.
Kebiasaan perawatan yang penuh pengorbanan ini telah muncul sepanjang sejarah. Pada 1527, ketika wabah pes melanda Wittenberg, Jerman, profesor teologi dan pendiri gerakan Protestan Martin Luther menolak panggilan untuk melarikan diri dari kota dan melindungi dirinya sendiri. Sebaliknya, ia tetap tinggal dan melayani orang sakit.
Penolakan untuk melarikan diri tersebut telah mengorbankan putrinya Elizabeth. Namun, pengorbanan itu juga menghasilkan risalah, “Whether Christians Should Flee the Plague”, ketika ia menuturkan secara jelas tentang respons epidemi oleh umat Kristen: Kita mati di pos-pos kita. Para dokter Kristen tidak dapat meninggalkan rumah sakit mereka, gubernur Kristen tidak dapat meninggalkan distrik mereka, para pendeta Kristen tidak dapat meninggalkan jemaat mereka. Wabah tidak akan membatalkan tugas kita, menurutnya Martin Luther, melainkan mengubah tugas kita menjadi jalan salib, yang dengannya kita harus siap untuk mati.