Dia menuturkan pelaporan transaksi nasabah bank telah diatur dalam Undang Undang 8 tahun 2010 tentang Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (UU APU PPT). Dalam UU tersebut diatur penyedia jasa keuangan wajib menyampaikan laporan transaksi keuangan yang memenuhi kriteria tertentu. Termasuk transaksi keuangan mencurigakan (suspicious transaction) kepada PPATK.
“Berdasarkan UU APU PPT itu juga ditetapkan direksi, komisaris, pengurus atau pegawai pihak pelapor dilarang memberitahukan kepada pengguna jasa atau pihak lain. Baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun, mengenai laporan transaksi keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK,” paparnya.
Sementara itu, Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Yenti Garnasih, mengatakan dugaan skandal tersebut terkait adanya uang hasil kejahatan yang masuk ke dalam sistem perbankan global. Termasuk Indonesia. “Untuk membuktikan kebenaran informasi itu, bisa dilakukan pengusutan oleh PPATK,” ujar Yenti.
Baca Juga:BNPB Ingatkan Pemda Siap Siaga Hadapi Ancaman HidrometeorologiChai Changpan Kabur, 5 Petugas Lapas Diperiksa
PPATK sendiri menyebut bocoran dokumen intelijen AS, FinCEN berasal dari sumber yang tidak resmi. FinCEN merupakan mitra Financial Intelligence Unit (FIU) PPATK. “Informasi yang diperoleh dari International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ) sumbernya tidak resmi,” ujar Kepala PPATK, Dian Ediana Rae.
Meski begitu, PPATK akan menggunakan informasi tersebut sebagai bahan analisa dan pemeriksaan lebih lanjut. “PPATK tidak dapat melakukan konfirmasi terhadap informasi seperti ini kepada publik. Tapi kami memastikan melakukan langkah-langkah yang diperlukan,” imbuhnya.
Dikatakan, produk laporan PPATK merupakan laporan intelijen yang bersifat rahasia. Artinya hanya digunakan untuk kepentingan penyelidikan atau penyidikan oleh aparat penegak hukum. “Semua bersifat sangat rahasia. Ini sesuai praktek intelijen keuangan internasional dan undang-undang yang berlaku,” tegasnya.
Terpisah, Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik Otoritas Jasa keuangan (OJK), Anto Prabowo mengatakan perbankan di Indonesia telah menerapkan program Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme (APU PPT). Yaitu menggunakan pendekatan berbasis risiko (risk-based approach). Hal ini sesuai rekomendasi FATF (Financial Action Task Force).
Menurutnya, sampai April 2020, jumlah dan persentase kumulatif Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) sebagian besar disampaikan oleh bank. “Sehingga sistem APU PPT sudah dimiliki dengan parameter yang cukup memadai. Ini telah diterapkan secara efektif di industri perbankan. Dengan mekanisme tersebut, bank mampu mengidentifikasi lebih baik adanya transaksi keuangan mencurigakan. Selanjutnya dapat ditindaklanjuti dengan melaporkan ke PPATK,” pungkasnya.(rh/fin)