MENTERI Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyampaikan data kekerasan yang dialami anak selama pandemi covid-19 melanda Indonesia.Data yang dihimpun oleh SIMFONI PPA per tanggal 2 Maret-25 April 2020 menyebutkan, terdapat 368 kasus kekerasan yang dialami anak, dengan korban sebanyak 407 anak (300 anak perempuan dan 107 anak laki-laki).
Adapun bentuk kekerasan yang paling besar dialami oleh anak adalah kekerasan seksual yakni 58,21 persen.
Bintang menambahkan bahwa selain kasus kekerasan, isu lain yang juga ditemukan adalah risiko keterpisahan anak dari pengasuh atau tidak tersedianya pengasuh karena pengasuh inti tertular atau meninggal dunia karena Covid-19.
Baca Juga:Psikolog: Gangguan Mental Karena Pandemi Harus Direspon PemerintahDPR Prihatin Kekerasan Anak Meningkat di Era Pandemi
Bersama Harian Rakyat Cirebon, Tjandra Widyanta menegaskan khusus untuk penanganan kekerasan pada anak dalam hal proses penegakan hukum seyogyanya agar diberi kebijakan tersendiri agar ditangani secara cepat singkat dan biaya murah.
“Untuk perundungan verbal pelanggaran ITE memerlukan biaya yaitu utk pemeriksaan akun di lab kriminal itu butuh biaya,” ungkapnya, Minggu (13/9).
Berikut petikan wawancaranya.
Kasus kekerasan fisik terhadap anak di Indonesia sangat tinggi, menurut data Kementerian Sosial. Sepanjang tahun 2020, sebanyak 8.259 kasusu kekerasan yang melibatkan anak, 3.555 kasus terkait dengan kategori anak yang berhadapan dengan hukum. Bagaimana tanggapan Anda?
Data tersebut adalah data secara keseluruhan atas kekerasan pada anak, Dalam UU Sistem Peradilan Anak. istilah anak yang berhadapan hukum itu dibagai menjadi 3 kategori yaitu (Pasal 1 butir 2 UU No.11 Th 2012 tentang Sistem Peradilan Anak)Anak yang berkonflik dengan hukum yaitu Anak Sebagai Pelaku, (pasal 1 butir 3 UU no.11 Th 2012) ;Anak Sebagai Korban, (Pasal 1 butir 4 UU No.11 th 2012)Anak sebagai Saksi. (Pasal 1 butir 5 UU No.11 Th 2012)
Sehingga bila dikaitkan dengan konsep hukum terkait kekerasan anak dalam kategori anak yang berhadapan dengan hukum data tersebut adalah hanya kekerasan anak sebagai pelaku pidana, dan sebagai korban saja. Karena data yang selalu dimunculkan biasanya data yang tidak termasuk kategori anak sebagai saksi. Mengamati tingginya kasus tersebut menurut saya masih lemahnya kordinasi pengawasan terhadap kewajiban dan tanggung jawab kepada perlindungan anak dalam lingkup keluarga, lingkup masyarakat dan lingkup negara. Masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Kewajiban dan tanggung jawab perlindungan anak terletak pada keluarga (orang tua), masyarakat dan pada negara. Kesemuanya sudah diatur dalam UU No. 35 Th. 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Th. 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu dalam pasal 26 kewajiban dan tanggung jawab untuk keluarga /orang tua, pasal 25 untuk masyarakat dan pasal 21 untuk negara/pemda. Berjalan sendiri-sendiri terlihat dari kurangnya kerja sama di semua tahapan penanganan kasus kekerasan anak seperti dalam tahap identifikasi (pengaduan, penjangkauan korban, pengelolaan kasus, mediasi dan pendampingan korban), untuk mendapatkan akses layanan medis, akses layanan rehabilitasi , akses layanan bantuan hukum, reintegrasi sosial,dan pemulangan. Tahapan tersebut sudah diatur dalam Permen PP-PA No.2 Th 2011 Tentang Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan