JAKARTA-Daya beli yang masih rendah akibat pandemi Covid-19 yang berkepanjangan diperkirakan akan berdampak pada penurunan indeks ketahanan pangan pada akhir 2020 nanti.
Diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian sebagai penyumbang tertinggi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II/2020, yakni 16,24 persen dan secara tahunan berkontribusi 2,19 persen.
Pengamat pertanian sekaligus Guru Besar IPB University Dwi Andreas Sentosa mengatakan pelemahan daya beli masyarakat mengakibatkan angka kemiskian akan bertambah baik di perkotaan maupun di pedesaan.
Baca Juga:Masih Lajang, Jeremy Teti: Terus Orang Enggak Menikah Sengsara Masuk Neraka?Kasus Jiwasraya, Beginilah Tampilan Pinangki Sirna Malasari
Nah, kondisi demikian, Dwi Andreas memperkirakan indeks ketahanan pangan akan lebih rendah dibandingkan tahun 2019 yang sebesar 62,2 persen.
“Saya perkirakan indeks ketahanan pangan tahun ini akan terjun di angka 50. Bahkan hingga di tahun 2021,” ujarnya dalam video daring terkait Resesi Ekonomi dan Pengaruhnya terhadap Ketahanan Pangan, kemarin (17/9).
Dwi Andreas menyebutkan ada tiga faktor yang menyebabkan indeks ketahanan pangan turun. Pertama, penurunan produktivitas padi yang terjadi setiap tahun berpengaruh terhadap stok beras.
Lalu kedua, kapasitas masyarakat untuk mengakses pangan mengalami penurunan. Terakhir, karena kapasitas masyarakat turun, maka kualitas pangan ikut terdampak menurun. “Jadi agregat dari tiga faktor tersebut yang membuat indeks ketahanan pangan juga ikut turun,” katanya.
Kendati demikian, Dwi Andreas memastikan krisis pangan seperti yang diingatkan oleh Organisasi Pangan Dunia (FA) tidak akan terjadi di Indonesia. Ini karena ketersediaan pangan, terutama kebutuhan utama beras relatif cukup besar, bahkan di pasar internasional.
“Penurunan indeks ketahanan pangan ini bukan disebabkan faktor ketersediaan (pangna), akan tetapi kemampuan akses pangan masyarakat,” jelasnya.
Soal sektor pertanian tumbuh positif dibandingkan sektor lainnya. Menurut Dwi Andreas lantaran pola panen padi yang mengalami pergeseran satu bulan. “Pola panen padi selama ini puncak panen terjadi pada Februari hingga Maret, tapi tahun ini menjadi April hingga Mei,” ucapnya.
Baca Juga:Merger BUMN Mulai DipetakanAmien Rais Bikin Partai Baru, Ini Kata Pengamat
Untuk kuartal ketiga ini, dia memproyeksikan terjadi penurunan yang cukup tajam, bahkan penurunan masih terjadi pada kuartal keempat. Hal ini karena pola produksi pangan, terutama padi memang dari tahun ke tahun seperti itu di mana pada kuartal keempat akan lebih rendah dari kuartal ketiga dan kedua.