JAKARTA – Kepala daerah terpilih yang saat pilkada dibiayai cukong alias pendana, berpotensi melakukan korupsi kebijakan. Salah satunya membuat kebijakan yang tidak sesuai undang-undang. Hal ini dinilai sangat berbahaya dan menciderai demokrasi.
“Ini sangat berbahaya dampaknya ketimbang korupsi biasa. Korupsi kebijakan ini jelas lebih berbahaya. Karena sifatnya berlanjut. Kalau korupsi biasa hanya sekali. Misal, ada APBN lalu dikorupsi, dihukum, kemudian selesai. Tetapi jika kebijakan tidak seperti itu,” tegas Menkopolhukam Mahfud MD, Kamis (17/9).
Menurutnya, bukti terkait hal itu cukup banyak. Sebab, tidak sedikit kepala daerah yang tertangkap tangan oleh KPK. Selain itu, kasus ini juga terkonfirmasi saat dirinya menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca Juga:Negara-negara Kaya Borong Separuh Pasokan Vaksin Corona PotensialLimpahkan Berkas Perkara Jaksa Pinangki, ICW Pertanyakan Keputusan Kejagung
Menurutnya, dari hasil persidangan terungkap hampir semua yang terlibat pilkada kemudian berperkara, mengatakan dibiayai cukong. Mahfud mengutip data yang dikeluarkan KPK sebanyak 82 persen calon kepala daerah yang ikut pilkada dibiayai cukong.
“Artinya apa. Cukong itu dalam KBBI artinya adalah orang yang membiayai orang lain. Bahkan lebih banyak cukongnya ketimbang calon,” paparnya. Mahfud menyebut jika sponsor orangnya jelas. Sementara cukong tidak kelihatan dan diam-diam.
Sementara itu, pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno mengatakan, cukong yang mendukung peserta pemilu merupakan bentuk dukungan. Yang perlu dicermati dari mana dana tersebut berasal.
“Biaya politik di Indonesia besar. Terkait sponsor saya kira tidak ada persoalan. Hanya bagaimana kita bisa mencari dan membuka secara terang benderang dari mana dana tersebut,” kata Adi.
Hal senada disampaikan peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Agil Oktrayal. Dia menilai informasi dari KPK tentang 82 persen calon kepala daerah (Cakada) didanai cukong mesti menjadi atensi aparat penegak hukum.
Menurutnya, pengawasan ketat terkiat pembiayaan kandidat di pilkada harus transparan. Khususnya sumber dana sekaligus peruntukannya. “Angka 82 persen itu harus dibuktikan. Apakah berasal dari dana yang sah atau tidak,” kata Agil.
Tindakan tegas, lanjutnya, mesti diterapkan kepada cakada yang mendapatkan modal dari sumber tindak pidana. Jika uang itu mengalir ke partai melalui mahar, juga harus ditindak. “Begitu juga apabila ada partai politik mendapatkan uang dari sumbangan asing, penyumbang atau pemberi yang tidak jelas identitasnya. Ini harus jadi perhatian aparat penegak hukum,” paparnya.