Yang sangat mengkhawatirkan bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini dalam persiapan untuk Pemilihan 2019 adalah, bahwa nilai tukar rupiah sekarang berada di Rp14.490 per dolar—berada di level terendah sejak krisis moneter 1997-1988—meskipun bank sentral (Bank Indonesia) membelanjakan dana sebesar $12 miliar dalam beberapa bulan terakhir untuk menopang nilai mata uang.
Itu sangat mengkhawatirkan, mengingat utang negara dalam denominasi dolar AS yang sangat tinggi. Walau tidak ada yang mengatakan bahwa sejarah pasti akan terulang, namun ekonomi yang goyah dan mata uang yang jatuh dapat memberi konsekuensi politik bagi Jokowi jika pemerintah tak mampu menanggulanginya menjelang pemilihan presiden dan parlemen pada bulan April mendatang.
Clinton pertama kali menelepon Soeharto pada tanggal 8 Januari 1998, untuk mendesaknya mendukung reformasi ekonomi dan untuk menjaga suku bunga tetap tinggi sampai rupiah mulai stabil. Dia juga menawarkan jasa Deputi Menteri Keuangan Larry Summers sebagai konsultan untuk membantu dalam proses reformasi.
Baca Juga:Amerika Serikat Dan China Diambang PeperanganWaspadalah Terhadap Kekacauan di Timur Tengah
Hari berikutnya—dokumen yang bocor menunjukkan—Menteri Perdagangan dan Industri Indonesia Tunky Ariwibowo mengatakan kepada Duta Besar AS untuk Jakarta Stapleton Roy, bahwa Soeharto terkesan dengan Clinton dan wawasannya tentang bagaimana masyarakat internasional memandang situasi Indonesia.
Panggilan telepon lain terjadi pada tanggal 15 Januari 1998, di mana Soeharto menguraikan rencana rinci untuk melaksanakan perjanjian dengan IMF dan mereformasi sistem perbankan pusat dan swasta, yang saat itu berada dalam kekacauan setelah penutupan 16 bank milik pribadi memicu ketidakstabilan di lembaga-lembaga keuangan negara yang lain.
Presiden AS tersebut menelepon Soeharto untuk ketiga kalinya dari Camp David pada tanggal 13 Februari 2018, kali ini untuk menentang pembentukan dewan mata uang, yang saat itu secara aktif dipromosikan oleh ekonom Amerika Steve Hanke. Clinton mengatakan bahwa AS dan negara G7 lainnya percaya bahwa itu akan memberikan risiko pada “segala sesuatu yang telah Anda capai.”
“Jika pasar gagal, itu akan menjadi tindakan yang secara serius menghabiskan cadangan Indonesia dan mempersulit upaya IMF dan masyarakat internasional untuk memberikan dukungan,” ia memperingatkan. “Ini akan menaikkan suku bunga, menyebabkan runtuhnya bank-bank dan sistem perbankan, dan spekulan akan lebih mudah untuk bergerak melawan rupiah.”